Minggu, 03 Februari 2013

JIHAD ITU (BUKAN) TERORISME




إِنَّ الْجِهَادَ الْيَوْمَ لَيْسَ أَنْ نَمُوْتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ

وَلـكِــــــنْ أَنْ نَـحْـيَـا فِــــــي سَـبِـيْـلِ اللـــــــهِ


 “Sesungguhnya jihad di era sekarang bukanlah mencari mati di jalan Allah tetapi bagaimana kita berusaha hidup bersama-sama di jalan Allah.” (Gamal al-Banna)



Kalau ada anjing menggigit manusia maka itu bukanlah berita. Tetapi kalau suatu saat ada manusia yang menggigit anjing itulah berita.” Ungkapan tersebut lazim dikenal dalam dunia jurnalistik. Sebuah berita yang baik adalah berita yang unik, aneh, dan bahkan nyeleneh. Berita yang positif, standar, normal, dan sudah menjadi pengetahuan umum memang tidak banyak menyita perhatian. Ada lagi istilah, “A bad news is a good news.”

Pengaruh media massa dalam kehidupan sosial luar biasa dahsyat. Tingkat kepercayaan dan kenyamanan masyarakat terhadap media boleh dikatakan masih tinggi. Buktinya, berita media masih menjadi konsumsi rutin dalam jumlah yang tidak sedikit. Akibatnya, ketika media melakukan upaya “penggiringan opini”, masyarakat tidak menyadarinya. Apa yang disaksikan dan dibaca dianggap sebagai fakta yang sesungguhnya.

Banyak media yang seharusnya menyampaikan fakta yang sebenarnya justru menampilkan yang sebaliknya. Sikap yang demikian dilakukan media yang berkepentingan untuk membangun persepsi di masyarakat. Betapapun demikian masih ada media yang melakukan pemberitaan secara akurat dan berimbang. Namun hal ini pun nampaknya tidak terjadi dalam setiap pemberitaan.

Seperti dijelaskan oleh Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., dalam tulisannya (Jurnal Al-Islamiyah), bahwa media akan melakukan seleksi fakta. Sebuah berita yang masuk ke ruang redaksi akan melewati proses penyaringan yang tidak sederhana.  Apa yang diterima masyarakat sebagai penikmat berita akhirnya berupa “fakta semu”. Jika tidak cermat dan cerdas dalam menyikapinya akan menimbulkan simpulan yang salah.

Sungguh, firman Allah dalam surat al-Hujurāt [49] ayat 6 memberikan peringatan penting dalam hal penerimaan berita. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik dengan membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kebodohan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” Klarifikasi atau tabayyun itu penting dalam setiap berita yang diterima.

Media dan Terorisme
Masalah terorisme senantiasa menarik untuk di(per)bincangkan. Mendengar kata terorisme maka akan muncul di benak banyak pihak bahwa umat Islam yang paling pantas disebut sebagai subyeknya. Maraknya “terorisme” di dunia secara tidak langsung mengubah citra Islam yang santun itu menjadi Islam yang “garang” dan “pro semua jenis peperangan dan intimidasi”. Islam dicaci-maki. Umat Islam menjadi golongan yang patut dicurigai.

Kalau kita mencoba memahami Islam secara benar dan menyeluruh, benarkah Islam itu mengajarkan kebencian dan terorisme? Apakah Islam menganjurkan pemeluknya untuk “menghabisi” golongan umat yang memiliki konsep ketuhanan yang berbeda? Sekali lagi, apakah Islam menolak keberagaman sehingga perbedaan keyakinan harus ditumpas begitu saja dan diberangus dengan semena-mena?

Jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut adalah “penegasian”. Islam justru menegaskan sikap santun dan damai dalam hidup dan kehidupan. Perbedaan dalam Islam adalah sunnatullah yang karenanya manusia diuji untuk mampu bersikap dewasa dalam menyikapinya. Seandainya –memang– ada pihak-pihak yang menyuarakan “kekerasan” maka tidak semestinya hal itu dipersepsikan ke tubuh Islam secara total.
              
Seperti dijelaskan di atas tentang kuatnya pengaruh media. Media juga berperan penting terhadap pencitraan Islam sebagai sebuah agama yang sejatinya menolak kekerasan. Sayangnya, banyak media yang langsung menyudutkan Islam dengan adanya aksi-aksi terorisme yang terjadi di dunia. Padahal, media belum melakukan check and recheck secara akurat dan meyakinkan. Sementara itu, Islam sudah terlanjur menerima akibat negatifnya.              

Ketika ada sebagian umat Islam yang menyuarakan Islam dengan cara yang mungkin berbeda dengan kebanyakan, media buru-buru menganggapnya sebagai model dakwah yang kontraproduktif. Kalau dilacak lebih jauh, mereka yang bersikap demikian lebih karena bertahan, membela diri dari serangan pihak lain. Ironisnya, pembelaan itu dianggap upaya ofensif (menyerang) sehingga pelakunya layak disebut teoris.
               
Media boleh dikatakan tidak fair dalam menampilkan isu terorisme. Tidak dimungkiri bahwa ada juga sikap umat Islam yang mengarah ke sana. Namun, perlu diketahui pula bahwa sesungguhnya semua agama, menurut Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H. (Pembicara), berpotensi melakukan terorisme. Namun, saat ini terorisme karena “ulah” media hanya diperuntukkan secara tunggal kepada umat Islam. Islam akhirnya (di)identik(kan) dengan terorisme.

Misionarisme
Dalam Islam ada konsep “jihād”. Secara bahasa, jihad berarti berjuang dengan sekuat tenaga alias sungguh-sungguh. Jihad, kalau dibaca dalam Al-Quran memang lebih banyak berkisah tentang “peperangan”. Sementara dalam hadits Rasulullah, selain masalah perang, jihad dimaknai lebih konfrehensif dan universal. Misalnya, Rasulullah setelah perang Badar bersabda bahwa ada jihad yang lebih besar yaitu jihad melawan hawa nafsu (jihadu an-nafs).

Semua agama pastinya memiliki misi untuk menyebarluaskan ajarannya. Oleh karena itu, istilah misionaris itu sebenarnya tidak harus identik dengan agama tertentu. Islampun berhak untuk menyandangnya. Sebab, dalam Islam ada istilah “dakwah” yang salah satunya bagaimana agar Islam dikenal dan dianut oleh orang yang sebelumnya beragama lain. Harus dipahami pula bahwa dakwah dalam Islam harus santun, ada aturannya.

Al-Islāmu ‘aqidat-un wa syarī’at-un.” Islam itu adalah akidah dan (sekaligus) syariat atau jalan hidup. Berislam itu ada aturan mainnya. Termasuk bagaimana mendakwahkan Islam itu sendiri. Misi penyebaran Islam tidak sepantasnya dilakukan secara paksa. Sebab, ditegaskan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 256 bahwa “tidak ada paksaan dalam agama”. Telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyesatkan.

Di cover belakang Jurnal Al-Islamiyah Nomor 04 Tahun XVIII, redaksi mencantumkan surat an-Nahl [16] ayat 125. Substansi ayat tersebut adalah tentang model dakwah yang benar menurut al-Quran. Dakwah (panggilan kepada jalan Tuhan) itu selaiknya dilakukan dengan hikmah (kebijaksanaan), pelajaran yang baik, dan diskusi dengan cara yang berbaik. Jelas sekali, bahwa sikap yang keras dan permusuhan tidak hadir dalam ayat tersebut.

Kalau begitu, lalu bagaimana dengan peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah? Bukankah perang itu bagian dari “kekerasan”? Benar, bahwa banyak sejarah perang yang sampai kepada kita. Perlu dikaji lebih lanjut masalah perang ini. Pastinya, perang dalam Islam sebenarnya lebih banyak dilakukan sebagai upaya pembelaan (defensif). Tepatnya, perang dalam Islam itu solusi terakhir, dan bukan cara pertama dan utama. 

Ust. Supriyanto Pasir, M.Ag., memaparkan bahwa perang itu memang ada dan dalam kondisi tertentu diwajibkan (kutiba) dalam Islam. Tetapi harus diingat bahwa bagaimanapun perang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh umat Islam itu sendiri (kurhul lakum). Lebih lanjut dapat dibaca dalam surat al-Baqarah [2] ayat 216. Dari sini dapat dipahami bahwa kalau ada jalan lain selain perang maka itu lebih baik (khairul lakum).

Ust. Pasir –begitu beliau sering disapa– menjelaskan etika dalam perang. Seandainya umat Islam harus terlibat dalam peperangan maka harus memperhatikan etika tersebut. Misalnya, dalam perang tidak boleh melampai batas. Wanita tidak boleh dibunuh, khususnya wanita yang sedang hamil. Anak-anak harus selamat dalam peperangan. Termasuk juga kakek-kakek tidak boleh dibunuh. “Kecuali (kakek-kakek) pendekar,” seloroh beliau.

Sekali lagi bahwa ekspansi dan misionarisme Islam memiliki aturan yang santun dan meneduhkan. Berislam yang baik itu bukanlah mengatakan, “Kami memiliki sesuatu yang lebih baik dari yang kalian miliki.” Itu namanya egoisme dan kesombongan. Berislam itu dengan bertutur, “Perkenankan kami menunjukkan sesuatu yang lebih baik untuk kehidupan kalian.” Ini adalah sikap santun dan bukan pemaksaan dalam berdakwah.

Ikhtitām: Kontekstualisasi Jihad
Persepsi yang mengatakan bahwa jihad dalam Islam identik dengan terorisme adalah salah. Jihad itu secara leksikal kebahasaan bernada positif. Sementara terorisme sangat bertolak belakang dengan yang namanya jihad. Terorisme sudah pasti negatif dan kontraproduktif. Jihad itu islami dan pastinya santun dan jauh dari kesan teror. Dan lagi dalam Islam, jihad itu tidak berarti sempit, tetapi sangat luas.

Imam Mustofa, S.HI.,M.SI., dalam tulisannya (Jurnal Al-Islamiyah) menuturkan dengan panjang lebar tentang kontekstuliasi jihad. Setiap orang sebenarnya memiliki kesempatan untuk berjihad sesuai dengan kapasitasnya. “Seorang petani dapat berjihad dengan bersungguh-sungguh mencari nafkah guna bekal ibadah atau membiayai pendidikan anak…,” tulisnya. Bagi mahasiswa dan dosen, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan juga bagian dari jihad.

Saat ini, barat sedang gencar-gencarnya melakukan serangan pemikiran (ghazwul fikri) terhadap Islam. Umat Islam seharusnya sadar untuk melakukan counter sebagai bagian dari jihad tadi. Disitulah jihad yang kontekstual itu hadir. Sehingga, Islam tetap eksis sebagai agama yang rahmatan lil ‘ālamīn. Islam tidak sama dengan terorisme karena terorisme juga tidak sama dengan Islam. Termasuk jihad, pasti tidak sama dengan terorisme. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
        
Moderator Diskusi dan
Bedah Jurnal Al-Islamiyah







0 komentar:

Posting Komentar