Rabu, 13 Februari 2013

Santri Taklukkan Merapi

Oleh: Samsul Zakaria
     


Sabtu-Minggu (9-10/2/13) menjadi sejarah tak terlupakan bagi 8 santri Ponpes UII yang melakukan pendakian-panjang Gunung Merapi. Sebelumnya, beberapa santri pernah mendaki Merapi tetapi sayangnya belum berhasil sampai ke Puncak Garuda. Pada pendakian kali ini atas izin Allah, santri berhasil menikmati indahnya sunrise di Puncak Merapi.
 
Berawal dari ajakan santri angkatan 2011, saya mengkoordinir beberapa santri untuk turut serta dalam pendakian ini. Dipilih waktu yang tidak mengganggu aktivitas akademik santri, baik kampus maupun pesantren. Mulai hari Sabtu (9/2/13) santri memang sudah bebas dari ujian akhir (UAS) kampus dan pesantren.
 
Sejumlah 8 santri ditambah seorang teman santri (total 9 orang), pukul setengah 3, Sabtu (9/2/13) berangkat menuju lokasi awal pendakian. Di lereng Merapi, Selo, rombongan berkumpul untuk persiapan akhir pendakian. Setelah menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ berjamaah di Masjid Bābul Jannah yang dibangun Mapala UNISI, rombongan memulai pendakian.
 
Doa bersama yang saya pimpin menjadi cerita awal sesaat sebelum pendakian. Perjalanan dimulai. Jalan (track) pendakian tampak sepi dan hening. Tawa dan canda sesekali memecah sunyi. Dalam waktu yang relatif singkat, kami harus berhenti sejenak, mengistirahatkan kaki. Rute pendakian memang selalu menanjak dan terjal.
 
Awalnya, saya pribadi dalam hati pesimistis untuk bisa sampai ke puncak. Namun dengan kekompakan rombongan, pesimisme itu tidak berdampak apa-apa. Chairul Umam yang memimpin pendakian selalu memberikan semangat untuk melanjutkan perjalanan. Bento, begitu ia lebih senang disapa, sering berteriak, “Ayo!” setelah berhenti sejenak.
 
Pukul setengah satu dini hari, Minggu (10/2/13) dekat dengan Pasar Bubrah kami berhenti dan mendirikan tenda. Dengan usaha yang tidak mudah, tenda berhasil didirikan. Dari pukul 1 sampai 3, kami beristirahat, tidur dalam tenda. Udara yang begitu dingin memasuki celah-celah kecil tenda. Lapisan pakaian yang kami kenakan tidak mampu menghalau dinginnya hawa.
 
Tidur dalam durasi singkat dan tidak begitu nyenyak setidaknya sudah cukup bagi kami. Pukul 3 kami melanjutkan perjalanan. Pasar Bubrah (sekadar nama, realisasinya bukanlah pasar), menjadi destinasi awal. Kami meletakkan barang-barang di daerah tersebut. Hanya makanan ringan yang dibawa ke atas, dalam satu tas saja.
 
Luar biasa! Track menuju puncak sangat terjal, mengerikan, dan ekstrim. Merangkak seperti cicak (binatang melata), kata seorang santri, yang bisa kami lakukan. Sedikit saja terpeleset bisa berbeda ceritanya. Apalagi, setelah kami turun dari puncak, seorang pendaki berkata bahwa track yang kami lalui memang tidak pernah (jarang) dipakai.
 
Artinya, kami memang melewati jalur yang tidak pas. Tetapi tidak masalah. Toh, akhirnya dengan perjuangan kelas kakap, kami berhasil melaluinya. Kata orang bijak, justru karena salah (kesasar) akhirnya kita menemukan jalur baru. Itu yang barangkali menjadi hikmah dari kesalahan kami. Paling tidak kami tidak akan mengulangi melewati track itu saat kembali mendaki Merapi.
 
Sekitar jam 5, saya dan 2 orang santri yang tertinggal dari rombongan, menunaikan shalat Shubuh di tengah pendakian. Karena tidak adanya air, akhirnya kami bertayamum. Dan lagi, tidak mungkin bagi kami untuk menghadap kiblat. Sebab, kiblat berada di balik puncak gunung. Kalau menghadap kiblat artinya kami harus shalat sembari duduk menghadap ke atas.
 
Hal itu memang mungkin tetapi sukar sekali. Bisa-bisa kami terjengkang dan terjun bebas menuju Pasar Bubrah. Akhirnya, kami shalat menghadap arah lain dengan tetap niat menghadap kiblat. Di sini fiqh yang luwes dan kondisional itu benar-benar kami terapkan. Setelah shalat kami melanjutkan jalan, menuntaskan misi.
 
Sekitar pukul 6 pagi, rombongan secara keseluruhan berhasil mencapai Puncak Merapi. Disertai pesona mentari pagi, kami menyaksikan pemandangan yang indah sekali. Gunung Merbabu yang berada di sebelah Utara tak luput dari penglihatan mata. Ditambah dengan konstruksi keindahan lainnya yang membuat kami berucap: “Subhanallah…”    
 
Di Puncak Merapi kami menyaksikan kawah yang dahulu pernah menyemburkan lava dan magmanya. Kawah itu yang sering disebut dengan Kawah Candradimuka (Jawa, Condrodimuko). Cekungan bekas aliran lava dan magma yang sangat besar di bagian Selatan tampak begitu jelas. Lokasi puncak yang cukup sempit membuat kami harus berhati-hati.   
 
Tiada kata yang pantas terucap selain ungkapan syukur pada Allah semata. Di tengah pendakian saya nyaris terjatuh. Beruntungnya, Muhammad Lathief Saifussalam dan Ahmad Azizi berhasil menyelamatkan saya atas izin Allah. Saya urung terperosot dan dapat kembali melanjutkan pendakian. Kuasa Allah benar-benar bermain, menyertai pendakian kali ini.   
 
Lathief misalnya, sudah 3 kali itu mendaki Merapi. Ia baru berhasil mencapai puncak untuk kali ketiganya. Pertama mendaki ia kedinginan, akhirnya memutuskan kembali ke base camp setelah berhasil sampai Pasar Bubrah. Kali kedua terhalang badai sejak di pos pertama. Pagi itu, aura kegembiraan dan kepuasan tampak di wajahnya. Akhirnya ia berhasil menaklukkan Merapi.
 
Setengah 8 kami turun perlahan ke Pasar Bubrah. Berhenti sebentar, menikmati snack dan minuman yang tersisa. Setengah 12 rombongan sampai dengan selamat di base camp, kemudian kembali ke pesantren. Kepada Ust. Willy Ashadi, SHI, pengasuh santri yang telah memberikan izin dan doa tulusnya kami ucapkan terima kasih. Selamat berpetualang-ria, Kawan! []


Note: Catatan Perjalanan (CP) ini sudah diterbitkan di website Pesantren Universitas Islam Indonesia. Diterbitkan ulang dengan beberapa perubahan redaksional.

0 komentar:

Posting Komentar