Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Minggu, 17 Februari 2013

PESONA YANG TERPENDAM

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Mengapa ilmuan yang ada di lingkaran ibukota lebih cepat tenar alias dikenal publik secara luas? Jawabannya mereka sangat dekat dengan media nasional. Eksistensi mereka sering ditampilkan oleh media yang memang terpusat di Jakarta. Ketika ada fenomena yang terjadi maka banyak reporter media yang meminta tanggapan atau pendapat dari ilmuan tersebut. Jadilah mereka yang berada di jantung kota Jakarta lebih familiar di mata bangsa.

(Foto 1)
 
Berbicara masalah ketenaran memang tidak selamanya berkaitan dengan lokasi yang strategis. Lokasi menjadi dikesampingkan manakala objek berita memang luar biasa, super, dan amazing. Dimanapun lokasi, meskipun di ujung “dunia” sekalipun pastilah awak media akan mengejarnya. Selain itu, sebuah keluarbiasaan itu tidak terekspos bukan semata karena keengganan tetapi barangkali memang disebabkan oleh ketidaktahuan. 

(Foto 2)
 
Berkaitan dengan hal ini, saat bulan puasa (Ramadhan) –ketika itu masih pula dalam suasana (17) agustusan. Bersama 4 orang kawan, saya menyambangi panorama alam yang indahnya tak ketulungan. Setelah deal-dealan di rumah saya, kami sepakat untuk menuju air panas yang lazim dikenal dengan “belerang”. Pertimbangan medan yang menanjak, akhirnya setiap orang membawa satu motor.

(Foto 3)
 
Motor yang kami kendari pastinya tidak bisa dengan seenaknya menjangkau lokasi. Kami harus meninggalkan motor tercinta itu untuk kemudian berjalan beberapa puluh menit. Berjalan di bawah terik matahari dan sedang berpuasa tentunya bukanlah pilihan yang mudah. Tetapi bagi saya (dan teman saya) puasa bukan menjadi alasan untuk tidak bersemangat berjuang, menapaki kehidupan.

(Foto 4)
 
Selama kurang lebih 25 menit kami sampai ke lokasi. Tampilan awal “belerang” sungguh menggoda. Selanjutnya memang terserah kami, tetapi ya tetaplah menarik pandangan mata. Suguhan air panas dalam waduk yang lumayan luas begitu mempesona. Di titik air yang tingkat derajatnya tinggi, telur mentah kalau dimasukkan bisa masak. Sebuah penampilan alam yang bagi saya –pribadi– tak biasa.

(Foto 5)
 
Selain itu, pemandangan sekitar juga tak kalah menarik. Pepohonan yang masih tumbuh bebas dan asri menambah daya pikat lokasi itu. Bebatuan yang mendominasi wilayah itu memaksa saya untuk berimajinasi saat berada di padang tandus, Timur Tengah sana. Di ujung selatan juga mengalir air jernih yang karena di berada di daerah pegunungan maka segarnya pol. Kami membasuh muka di aliran air itu.

(Foto 6)
 
Di barat laut ada semburan gas panas dengan intensitas dan kecepatan tinggi. Saya berpikir kalau seandainya Pak Dahlan Iskan (saat itu masih menjabat sebagai Dirut PLN) tahu daerah tersebut. Boleh jadi beliau tertarik untuk memaksimalkan energi uap tersebut. Semoga Pak Dahlan –wartawan yang suka travelling– yang kharismatik itu walaupun tak lagi menjadi Dirut PLN suatu ketika berkesempatan mengunjungi tempat tersebut.

(Foto 7) 
 
Kami sembari beristirahat tentu sangat bersyukur pada Allah ta’ala. Bahwa di daerah kami, Lampung Barat ada pesona alam yang tak seharusnya diluputkan. Saya yakin masih banyak keindahan alam, potensi alam, rahasia alam di negeri tercinta ini yang –karena waktu saja– belum terekspos media. Hal ini sama dengan potensi (pesona) anak bangsa yang sebenarnya luar biasa namun banyak yang belum tersalurkan. Subhānallāh... []
  

Keterangan foto
(1). Pemandangan alam yang tampak dari depan rumah saya. Foto diambil beberapa saat sebelum keberangkatan menuju air panas (belerang). 
(2). Panorama alam yang terlihat dari daerah perbukitan, dekat dengan air panas. 
(3). Track yang sempit tak mungkin dilalui dengan sepeda motor. Setelah mengistirahatkan sepeda motor giliran kaki kami yang bekerja, menyusuri indahnya alam.
(4). Edy El Faruqie dengan wajahnya yang puas karena telah berhasil mencapai lokasi air panas (belerang). Ketika tulisan ini dibuat yang bersangkutan sedang diberi ujian oleh Allah. Lekas sembuh ya, Dik. Amin.
(5). Kawah air panas yang luar biasa indah. 
(6). Semburan air panas yang suaranya tak kalah seru dengan dahsyatnya aroma yang ditimbulkan.  
(7) Dari kiri: Agathon Ardiu dan Edy El Faruqie (keduanya adik tingkat saya di Madrasah Aliyah), Ahmad Masruri (teman sepermainan saya), dan saya sendiri.




Sabtu, 16 Februari 2013

JALA(N-)LAIN

Oleh: Samsul Zakaria


Tafsir jalan-lain memang seringkali berbeda tetapi bukankah perbedaan adalah harmoni yang harus dijaga dan dihormati?” (Khātimatu hādzihi al-maqālah)

Suatu pagi, saya terlibat pembicaraan hangat di warung makan. Kala itu, saya hendak memberikan apresiasi terhadap program kerja yang telah berjalan di pesantren saya. Program tersebut telah dilaksanakan 3 kali, secara rutin per dua minggu. Seketika, teman saya berkomentar: “Mas yang benar dua minggu sekali atau sebulan dua kali?” Sejurus dengan itu saya meresponnya dengan berucap: “Kita sering berbeda dalam wilayah yang sama.”
 
Secara redaksional, “dua minggu sekali” dengan “sebulan dua kali” memang berbeda. Tetapi, secara substantif sebenarnya sama –dengan asumsi pembulatan sederhana bahwa satu bulan adalah 4 minggu atau 28 hari. Dengan kata lain, “sebulan dua kali” adalah bentuk redaksi lain dari “dua minggu sekali”. Keduanya sahih untuk ditempatkan pada kalimat yang membutuhkan keterangan durasi waktu tersebut secara alternatif.
 
Contoh kecil di atas sesungguhnya merupakan gambaran kehidupan manusia. Banyak orang yang mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya sama. Apa yang dianggap beda itu hanya tampilan saja. Substansinya adalah sama. Sayangnya, banyak yang hanya berpikir dalam dataran perwajahan alias penampilan muka. Akhirnya, sedikit ditemui titik beda segera ditempatkan dalam wilayah A dan B.
 
Benar bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu secara substansial. Jika kondisi yang demikian disadari, menjadikan manusia senantiasa belajar untuk mengetahui lebih jauh. Sebab, pengetahuan yang dangkal jamak membuat pelakunya mudah menghakimi pihak lain. Padahal pihak lain sudah berada di wilayah yang benar, yang “jangan-jangan” sama dengan wilayah yang menghakimi.
 
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua hal yang berbeda itu sebenarnya sama. Tentu banyak hal di dunia ini yang hakikatnya memang (ber)beda. Pastinya, perbedaan bukan menjadi alasan untuk saling bermusuh(-musuh)an. Justru karena beda itu hidup menjadi lebih indah. Saya sering mengutip sebuah ungkapan bernada tanya yang menarik. “Bukankah pelangi itu indah karena tersusun dari 7 warna yang berbeda?


Perbedaan juga tidak selamanya membentuk garis pertentangan. Banyak hal yang justru tidak sempurna kalau tidak berbeda. Kita boleh menyebut “siang” karena setelah itu akan datang “malam”. “Pagi” itu menjadi waktu yang lazim untuk memulai aktivitas karena ada “sore”, saat dimana kita mulai beristirahat. Keluarga yang ideal nan bahagia itu hanya bisa terwujud karena bertemunya makhluk yang berbeda: “laki-laki” dan “wanita”.
Keterbukaan Sikap

Sudah mafhum bahwa perbedaan sesungguhnya adalah sunnatullah. Mencoba untuk menghapus perbedaan berarti mengikrarkan “perang” dengan ketentuan Allah. Idealnya adalah merajut hormani yang indah dan menakjubkan dalam kerangka perbedaan yang sudah sunnatullah tadi. Singkat kata, perbedaan justru harus dipelihara. Tentu, dengan cara yang dewasa dan bijaksana.
 
Dengan perbedaan, manusia diminta untuk saling menghargai dan memahami. Menghargai itu berarti memberikan apresiasi terhadap apa saja yang berbeda dengan kita. Sebab, dengan begitu hidup menjadi tenang karena tidak merasa terganggu dengan hadirnya “pihak” yang berbeda. Setelah itu, barulah memahami bahwa di balik perbedaan pasti ada persamaan yang menjadikan kita lebih yakin untuk saling menghargai.
 
Kita menyadari bahwa perbedaan yang sering menimbulkan konflik adalah perbedaan dalam masalah sosial. Termasuk didalamnya masalah pemahaman keagamaan (ibadah mahdhah). Hal yang demikian dalam ilmu fikih dikenal dengan istilah “khilāfiyah”. Pasalnya, memang banyak sekali masalah ibadah dimana antara ahli fikih yang satu dengan lainnya berbeda pendapat. Khilāfiyah ini yang seringkali memicu “perpecahan” dalam masyarakat.
 
Ada ujaran yang menarik terkait masalah perbedaan. “Berbeda pendapat itu tidak masalah. Masalahnya adalah kalau sudah beda pendapatan.” Di satu sisi memang banyak yang sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Namun, di sisi lain perbedaan pendapatan (status sosial, gaji bulanan, tunjangan, dan lainnya) juga menimbulkan kecemburuan sosial. Memang tidak mudah menyikapi perbedaan yang begitu kompleks itu.
 
Dalam konteks perbedaan, keterbukaan sikap sangatlah penting. Dalam masalah pemahaman, misalnya. Apa yang saat ini kita yakini sebagai kebenaran boleh jadi adalah sebuah kesalahan. Oleh karenanya, sikap terbuka untuk menerima masukan, kritikan, dan respon dari pihak lain harus dikedepankan. Dengan demikian, “kebenaran” yang kita yakini teruji kesahihannya karena sudah dipertemukan dengan kebenaran lain.
 
Eksklusivitas itu membuat kita menutup mata untuk melihat sesuatu yang berbeda. Sikap yang tertutup membatasi indera penglihatan kita untuk melihat keindahan semesta yang merupakan anugerah teragung Sang Maha. Sekali lagi, mari membuka mata lebar-lebar, hanyut dalam distingsi yang sebenarnya tak mungkin dihindari. Selanjutnya, kita akan mendapatkan banyak pelajaran yang begitu berharga.
 
Beda Itu Dewasa
Keberterimaan kita terhadap perbedaan bisa jadi menjadi salah satu ukuran kedewasaan. Dewasa memang tidak selamanya bertalian dengan usia. Boleh jadi orang yang secara usia masih muda tetapi secara nalar dan pemikiran sudah dewasa. Pastinya, orang yang dewasa itu lebih bisa menghargai perbedaan. Dia akan tetap merasa nyaman berada dalam wilayah yang berbeda. Pasalnya, dia sudah mengerti bahwa perbedaan bukanlah ancaman.

Seorang balita (khususnya bayi) ketika tinggal bersama orang tua kandungnya tentu akan merasa nyaman dan aman. Coba kalau dia harus tinggal bersama orang lain. Tentu dia akan rewel, menangis, dan seterusnya. Seorang bayi memang tidak bisa berkata-kata. Tapi dari rewel-nya itu bisa ditangkap bahwa ia ingin kembali ke pangkuan orang tua kandungnya. Ini karena ia masih terlalu ini, alias belum dewasa.

Seiring bertambahnya usia, seorang anak lebih bisa menerima perbedaan. Ia akan tetap merasa nyaman dan aman ketika harus tinggal dengan orang lain. Katakanlah keluarga ayah atau ibunya. Semakin bertambah lagi usianya, ia bisa tinggal dengan siapapun. Mungkin, ia sudah berani untuk tinggal sendirian, berada dalam situasi yang sama sekali berbeda. So, kenyamanan untuk berada di lokasi dan situasi yang berbeda adalah simbol kedewasaan.
 
Salah satu tanda bahwa seorang itu beranjak dewasa adalah ketertarikan kepada lawan jenis. Seorang balita barangkali tidak merasakan perbedaan berarti ketika bertemu dengan balita lain yang berlainan jenis. Berbeda dengan mereka yang sudah beranjak dewasa. Memang tidak semuanya demikian. Ada perasaan yang berbeda ketika bertemu dengan seorang yang jenis kelaminnya berbeda. Dengan kata lain, orang dewasa mulai “suka” dengan lawan jenis.
 
Di sini dapat ditarik simpulan bahwa kedewasaan membuat manusia sadar akan pentingnya kehadiran “lain”. Dewasa adalah kesadaran untuk “memeluk-mesra” perbedaan. Sebab, karena bersinggungan dengan yang berbeda tadi adalah bukti kenormalan. Tentu bermasalah ketika seorang laki-laki justru lebih tertarik dengan laki-laki juga. Sebuah pernikahan itu sah kalau kedua mempelainya berbeda: laki-laki dan wanita.
 
Demikian juga sebenarnya yang harus ditampilkan dalam panggung pemikiran. Perbedaan harus disikapi dengan dewasa. Orang yang mampu “memeluk” perbedaan adalah orang yang dewasa. Perbedaan justru menjadi media untuk saling bertukar paham sehingga wawasan menjadi semakin luas. Memaksa orang lain untuk selalu sama dengan kita adalah penodaan terhadap keanekaragaman pemikiran.
 
Ikhtitām
Banyak orang yang takut tersesat ketika harus menempuh jalur yang berbeda. Padahal, ketakutan itu menjadikannya kehilangan kesempatan untuk mengetahui rute yang lain. Menapaki jalan yang baru memang berisiko. Tapi di situlah letak seni kehidupan. Dengan begitu, kita menjadi tertantang untuk menuntaskan misi hidup. Kita dituntut untuk lebih kreatif karena jalan itu bukan jalan yang biasa.
 
Seorang teman pernah berujar. Konon, Allah itu menyediakan jalan menuju kehadirat-Nya sebanyak manusia yang Dia ciptakan di dunia. Setiap insan memang punya model jalan masing-masing untuk menuju keridhaan Tuhan-Nya. Tugas manusia adalah memaksimalkan jalan tersebut. Melakukan yang terbaik adalah syarat mutlaknya. Sebab, apapun yang dijalani saat ini adalah tangga menuju Sang Maha.
 
Sebagai penutup, kita harus melangkah jauh ke depan. Berkutat pada masalah khilāfiyyah menjadikan kehidupan ini stagnan. Kita tentu tidak rela saat bangsa barat sudah sampai ke bulan sementara kita masih terus-menerus mendebatkan kapan “awal bulan”. Biarlah perbedaan pemikiran itu menjadi khazanah (kekayaan) yang indah dan mengesankan. Inklusivitas itu penting untuk menyikapi perbedaan.
 
Mengutip “joke” KH Abdurrahman Nafis, Lc, dalam acara Dialog Terbuka. Menurutnya, dinamika pemikiran itu penting untuk membangunkan generasi muda yang tidur dalam hal pemikiran agar mengkaji ilmu lebih dalam. Akhirnya, tafsir yang digunakan tidak hanya Tafsīr Jalālain tetapi juga “tafsir jalan-lain”. Tafsir jalan-lain memang seringkali berbeda tetapi bukankah perbedaan adalah harmoni yang harus dijaga dan dihormati? Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
   
 
Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII


Keterangan: Artikel ini telah dimuat di Buletin Jumat Al-Lu'lu', Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Jumat (14/2/13). Foto tersebut berlokasi di Taman Pelangi, Surabaya. Konstruksi warna pelangi adalah simbol sederhana yang menggambarkan isi tulisan ini.

Jumat, 15 Februari 2013

MOMEN LANGKA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Tanggal 12 bulan 12 (Desember) tahun 2012 adalah momen langka yang tidak pernah terulang. Wajar kalau banyak orang yang mengabadikan tanggal itu dengan caranya masing-masing. Bahkan ada juga yang sengaja mempercepat proses kelahiran buah hatinya dengan operasi demi mendapatkan tanggal lahir yang cantik. Momen langka laksana emas permata yang nilainya tinggi alias berharga jual mahal.
 
Di tanggal tersebut, siang harinya saya mengikuti kuliah rutin di ruang kelas. Usai kuliah, seorang adik tingkat mengajukan usul kepada saya. Tanggal tersebut bertepatan dengan hari Rabu. Biasanya setiap Rabu, sore harinya kami belajar bahasa Arab bersama. Adik saya tadi usul bagaimana kalau di tanggal cantik tersebut digunakan untuk jalan-jalan saja. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya saya menyetujui usul brilian tersebut.
 
Setelah melalui diskusi singkat, terjadilah satu kesepakatan. Museum Merapi yang menjadi destinasi kami siang menjelang sore itu. Kami satu rombongan sebanyak 6 orang. Dengan mengendarai sepeda motor, kami pergi menuju lokasi. Kira-kira 20 menit kami sudah sampai di museum tersebut. Museum tampak sepi. Kata petugas, museum ramai kalau pas liburan sekolah, termasuk hari minggu.
 
Sebanyak 6 tiket saya beli. Kami mulai menyusuri bagian dalam museum. Pertama kali kami menyaksikan replika Gunung Merapi. Saat itu, saya perhatikan dengan seksama pula bagian puncak gunung berapi tersebut. Bagian itu yang dikenal dengan Puncak Garuda. Dengan izin Allah, Minggu (10/2/13) saya dan 8 teman saya berhasil mencapai puncak tersebut. Sebuah kenyataan yang menjadi kenangan tak terlupakan.

(Foto 1)
 

Merapi mulai menjauh dari pandangan mata. Pasalnya, museum itu berukuran lumayan luas, dan bertingkat. Gambar yang berisikan peristiwa yang berkaitan dengan aktivitas Merapi menjadi suguhan utama. Satu demi satu kami meneliti gambar-gambar yang tidak sempat kami hitung jumlahnya. Itulah gambar yang bagi saya bernilai seni tinggi. Kata seorang kakak, seni itu untuk dinikmati bukan dinilai, apalagi dihitung jumlahnya.
 
Ada satu “bangkai” motor yang cukup menyentil penglihatan mata. Motor tersebut sudah tinggal kerangka. Dari wujudnya, jelas sekali kalau motor itu ketika erupsi Merapi tersiram lahar dalam jumlah besar. Sungguh naas sekali nasib motor tersebut, benda mati yang mempermudah mobilitas manusia. Tetapi dengan nasibnya yang naas itu akhirnya ia “diawetkan”, disaksikan ribuan pasang mata.

(Foto 2)
 

Kalau melihat motor tinggal kerangka, lalu bagaimana kalau obyeknya adalah manusia? Tentu akan lebih fatal lagi. Barangkali tulang-belulang pun sudah tidak tersisa. Saya yakin bahwa mereka yang wafat dalam kondisi yang demikian akan mendapatkan rapor baik dari sisi-Nya. Secara jasad mungkin lebur, lalu rata dengan semesta kehidupan. Tetapi ruh, jiwa, tetaplah abadi, merasakan kenikmatan Ilahi.
 
Di momen yang langka tersebut, kami mendapatkan pelajaran yang juga langka. Hidup di alam ini memang sebuah kenikmatan tersendiri. Bagaimanapun hukum kehidupan juga pasti berlaku. Kalau memang ada saudara kita yang menjadi korban aktivitas alam tanpa kesalahan pastilah Tuhan menyiapkan tempat baginya yang mapan. Semoga kita nantinya dapat menjumpai-Nya dalam keadaan yang terbaik. Āmīn. []


Keterangan Foto: (1). Replika Gunung Merapi dengan penampakan Puncak Garuda yang tidak begitu kentara. (2). Sebuah bangkai sepeda motor yang sengaja dijadikan kenangan meletusnya Merapi tahun 2010.

Rabu, 13 Februari 2013

KADO KEHIDUPAN

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Sebenarnya mendaki gunung bukanlah hal yang asing bagi saya pribadi. Dari kecil saya tinggal di daerah yang banyak orang menyebutnya “(n)Gunung”. Rumah saya terletak di dataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon kopi. Karena daerah pegunungan, udara di malam dan pagi hari dingin sekali. Apalagi bagi mereka yang belum terbiasa. Kalau di Jogja saya bisa tidur malam lelap tanpa selimut, di kampung halaman rasanya mustahil.
 
Entah bagaimana awalnya saya menjadi tertarik untuk mulai menggemari hobi baru. Berpetualang ria di alam semesta untuk mentafakkuri ayat-ayat kauniyah Allah ta’ala. Dalam hal ini yang saya maksudkan adalah mendaki gunung. Sebelumnya, saya pernah mendaki sebuah bukit yang lumayan tinggi. Di puncak bukit itu ada “makam” Syeikh Maulana Jumadil Kubro. Selanjutnya, Gunung Langgeran juga pernah saya daki.

(Foto 1)




Kali ini, saya kembali mendaki gunung yang sudah familiar di telinga. Sebuah gunung berapi yang sampai saat ini masih aktif. Tanpa saya duga sebelumnya, track menuju gunung tersebut luar biasa ekstrim. Terjal, bebatuan, menanjak, dan di samping kanan-kiri tebing yang cukup berbahaya. Setelah sukses mendaki saya berpikiran kalau gunung itu “kurang pas” dijelajahi bagi pendaki pemula, termasuk saya sebenarnya.
 
Apalah daya, dan alhamdulillah untuk kali pertama, saya dan rombongan berhasil mencapai puncak. Kalau puncak Gunung Semeru namanya Mahameru di gunung ini namanya Puncak Garuda. Dialah Gunung Merapi yang bersebelahan dengan Gunung Merbabu. Bisa berada di puncak tersebut adalah kenangan yang mengesankan. Apalagi ditemani indahnya mentari pagi yang bersinar untuk kali pertama alias sunrise.

(Foto 2)




Sabtu, 9 Februari 2013 saya berangkat dari pesantren untuk melakukan pendakian. Selain karena ujian (UAS) sudah selesai tentu ada alasan lain mengapa saya memilih tanggal tersebut untuk mendaki. Di tanggal itulah dahulu saya pertama kali menyaksikan betapa indahnya alam semesta. Sejak 21 tahun yang lalu saya hidup, tumbuh, dan berkembang di alam ini atas limpahan karunia-Nya.
 
Mendaki Merapi dapat dikatakan sebagai ungkapan kebahagiaan saya di usia saya yang ke-21. Dengan segala halangan rintangan yang ada, saya bersyukur bisa menuntaskan misi untuk menaklukkan Merapi bersama kawan-kawan. Di saat itulah saya merapa betapa intervensi Allah sangat besar sekali dalam hidup saya. Saya merasa bahwa Allah membersamai saya selalu, khususnya saat saya mendaki gunung istimewa itu.

(Foto 3)




Di tengah perjalanan menuju Selo, Boyolali –lereng Merapi: base camp untuk mengawali pendakian– saya terjatuh dari motor. Sebenarnya bukan karena saya mengantuk atau melamun tanpa makna. Tak tahu bagaimana tiba-tiba kendali motornya oleng. Ban depan motor menyentuh rumput yang ada di samping kiri aspal. Jadilah motor saya terjatuh ke samping kiri. Teman sekamar saya yang berada di belakang terkena imbasnya juga.
 
Di detik-detik terjatuhnya saya dari motor, pikiran melayang kemana-mana. “Wah, gagal mendaki nich…,” batin saya. Ternyata, saya dan teman saya selamat, tidak apa-apa. Motor juga walaupun dengan keadaan stang sedikit bengkok masih bisa berjalan normal. Hujan yang awalnya mengguyur deras, menjelang Maghrib pun reda. Pendakian dimulai setelah shalat Isya’ dengan cuaca yang terang-benderang ditemani ribuan bintang.

(Foto 4)




Kesuksesan pendakian Merapi bagi saya adalah kado kehidupan dari Allah ta’ala yang luar biasa indah. Kepada kawan-kawan, sebanyak 8 orang, yang membersamai pendakian ini saya ucapkan terima kasih. Gunung-gunung lain menanti kedatangan kita. Pada ayah dan bunda, mohon maaf kalau tidak izin sebelumnya, dan baru bilang setelah pendakian usai. Ini adalah cara ananda untuk melihat betapa agungnya alam ciptaan Allah ini, Ayah-Bunda!
 
Pukul 6 pagi, saya dan rombongan berada di puncak Merapi. Saya merasa bahwa kuasa Allah memang tiada tanding(an)nya. Saya harus merasa bersyukur dan semakin pandai menikmati setiap detik nafas yang saya hembuskan. Banyak hal bermanfaat yang bisa saya lakukan namun barangkali masih alpa dari aktivitas saya selama ini. Merapi ada di balik kisah kehidupan awal saya di umur yang ke-21 ini. Alhamdulillah, hamba memuji-Mu, Ya Allah…[]    



Keterangan foto: (1). Perenungan di tengah puncak semesta kehidupan, sehari setelah berulang tahun. (2). Foto bersama di depan Puncak Garuda. Puncak Garuda ditandai dengan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar. (3). Kawah Condrodimuko tampak dari atas, sedang mengepulkan asap panasnya. (4). Foto bersama di daerah Pasar Bubrah. Para pendaki biasanya mendirikan tenda untuk beristirahat di daerah ini. Allahu akbar!

Santri Taklukkan Merapi

Oleh: Samsul Zakaria
     


Sabtu-Minggu (9-10/2/13) menjadi sejarah tak terlupakan bagi 8 santri Ponpes UII yang melakukan pendakian-panjang Gunung Merapi. Sebelumnya, beberapa santri pernah mendaki Merapi tetapi sayangnya belum berhasil sampai ke Puncak Garuda. Pada pendakian kali ini atas izin Allah, santri berhasil menikmati indahnya sunrise di Puncak Merapi.
 
Berawal dari ajakan santri angkatan 2011, saya mengkoordinir beberapa santri untuk turut serta dalam pendakian ini. Dipilih waktu yang tidak mengganggu aktivitas akademik santri, baik kampus maupun pesantren. Mulai hari Sabtu (9/2/13) santri memang sudah bebas dari ujian akhir (UAS) kampus dan pesantren.
 
Sejumlah 8 santri ditambah seorang teman santri (total 9 orang), pukul setengah 3, Sabtu (9/2/13) berangkat menuju lokasi awal pendakian. Di lereng Merapi, Selo, rombongan berkumpul untuk persiapan akhir pendakian. Setelah menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ berjamaah di Masjid Bābul Jannah yang dibangun Mapala UNISI, rombongan memulai pendakian.
 
Doa bersama yang saya pimpin menjadi cerita awal sesaat sebelum pendakian. Perjalanan dimulai. Jalan (track) pendakian tampak sepi dan hening. Tawa dan canda sesekali memecah sunyi. Dalam waktu yang relatif singkat, kami harus berhenti sejenak, mengistirahatkan kaki. Rute pendakian memang selalu menanjak dan terjal.
 
Awalnya, saya pribadi dalam hati pesimistis untuk bisa sampai ke puncak. Namun dengan kekompakan rombongan, pesimisme itu tidak berdampak apa-apa. Chairul Umam yang memimpin pendakian selalu memberikan semangat untuk melanjutkan perjalanan. Bento, begitu ia lebih senang disapa, sering berteriak, “Ayo!” setelah berhenti sejenak.
 
Pukul setengah satu dini hari, Minggu (10/2/13) dekat dengan Pasar Bubrah kami berhenti dan mendirikan tenda. Dengan usaha yang tidak mudah, tenda berhasil didirikan. Dari pukul 1 sampai 3, kami beristirahat, tidur dalam tenda. Udara yang begitu dingin memasuki celah-celah kecil tenda. Lapisan pakaian yang kami kenakan tidak mampu menghalau dinginnya hawa.
 
Tidur dalam durasi singkat dan tidak begitu nyenyak setidaknya sudah cukup bagi kami. Pukul 3 kami melanjutkan perjalanan. Pasar Bubrah (sekadar nama, realisasinya bukanlah pasar), menjadi destinasi awal. Kami meletakkan barang-barang di daerah tersebut. Hanya makanan ringan yang dibawa ke atas, dalam satu tas saja.
 
Luar biasa! Track menuju puncak sangat terjal, mengerikan, dan ekstrim. Merangkak seperti cicak (binatang melata), kata seorang santri, yang bisa kami lakukan. Sedikit saja terpeleset bisa berbeda ceritanya. Apalagi, setelah kami turun dari puncak, seorang pendaki berkata bahwa track yang kami lalui memang tidak pernah (jarang) dipakai.
 
Artinya, kami memang melewati jalur yang tidak pas. Tetapi tidak masalah. Toh, akhirnya dengan perjuangan kelas kakap, kami berhasil melaluinya. Kata orang bijak, justru karena salah (kesasar) akhirnya kita menemukan jalur baru. Itu yang barangkali menjadi hikmah dari kesalahan kami. Paling tidak kami tidak akan mengulangi melewati track itu saat kembali mendaki Merapi.
 
Sekitar jam 5, saya dan 2 orang santri yang tertinggal dari rombongan, menunaikan shalat Shubuh di tengah pendakian. Karena tidak adanya air, akhirnya kami bertayamum. Dan lagi, tidak mungkin bagi kami untuk menghadap kiblat. Sebab, kiblat berada di balik puncak gunung. Kalau menghadap kiblat artinya kami harus shalat sembari duduk menghadap ke atas.
 
Hal itu memang mungkin tetapi sukar sekali. Bisa-bisa kami terjengkang dan terjun bebas menuju Pasar Bubrah. Akhirnya, kami shalat menghadap arah lain dengan tetap niat menghadap kiblat. Di sini fiqh yang luwes dan kondisional itu benar-benar kami terapkan. Setelah shalat kami melanjutkan jalan, menuntaskan misi.
 
Sekitar pukul 6 pagi, rombongan secara keseluruhan berhasil mencapai Puncak Merapi. Disertai pesona mentari pagi, kami menyaksikan pemandangan yang indah sekali. Gunung Merbabu yang berada di sebelah Utara tak luput dari penglihatan mata. Ditambah dengan konstruksi keindahan lainnya yang membuat kami berucap: “Subhanallah…”    
 
Di Puncak Merapi kami menyaksikan kawah yang dahulu pernah menyemburkan lava dan magmanya. Kawah itu yang sering disebut dengan Kawah Candradimuka (Jawa, Condrodimuko). Cekungan bekas aliran lava dan magma yang sangat besar di bagian Selatan tampak begitu jelas. Lokasi puncak yang cukup sempit membuat kami harus berhati-hati.   
 
Tiada kata yang pantas terucap selain ungkapan syukur pada Allah semata. Di tengah pendakian saya nyaris terjatuh. Beruntungnya, Muhammad Lathief Saifussalam dan Ahmad Azizi berhasil menyelamatkan saya atas izin Allah. Saya urung terperosot dan dapat kembali melanjutkan pendakian. Kuasa Allah benar-benar bermain, menyertai pendakian kali ini.   
 
Lathief misalnya, sudah 3 kali itu mendaki Merapi. Ia baru berhasil mencapai puncak untuk kali ketiganya. Pertama mendaki ia kedinginan, akhirnya memutuskan kembali ke base camp setelah berhasil sampai Pasar Bubrah. Kali kedua terhalang badai sejak di pos pertama. Pagi itu, aura kegembiraan dan kepuasan tampak di wajahnya. Akhirnya ia berhasil menaklukkan Merapi.
 
Setengah 8 kami turun perlahan ke Pasar Bubrah. Berhenti sebentar, menikmati snack dan minuman yang tersisa. Setengah 12 rombongan sampai dengan selamat di base camp, kemudian kembali ke pesantren. Kepada Ust. Willy Ashadi, SHI, pengasuh santri yang telah memberikan izin dan doa tulusnya kami ucapkan terima kasih. Selamat berpetualang-ria, Kawan! []


Note: Catatan Perjalanan (CP) ini sudah diterbitkan di website Pesantren Universitas Islam Indonesia. Diterbitkan ulang dengan beberapa perubahan redaksional.

Sabtu, 09 Februari 2013

21


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Sudah maklum bahwa “ulang tahun” itu bermakna ganda. Pertama, bermakna pertambahan usia. Kedua, justru berarti berkurangnya usia itu sendiri. Untuk yang pertama ukurannya adalah durasi kehidupan di dunia. Sementara yang kedua standarnya adalah dengan berjalannya waktu maka berkurang pula jatah umur manusia. Karenanya, momen ulang tahun adalah waktu untuk bergembira sekaligus “bersedih” juga.

Saya bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan saya untuk menikmati kemurahan-Nya. Di usia yang ke-21 ini, saya sebenarnya belum merasa melakukan banyak hal yang berharga. Dan sampai kapanpun, saya tidak ingin “merasa” berjasa dalam hidup ini. Sebab, kalau saya sudah “merasa” begini dan begitu bisa jadi saya tidak lagi bersemangat untuk melakukan yang lebih dari itu.

Tanggal 9 Februari 1992 adalah waktu dimana saya pertama kali menghirup nafas kehidupan. Dari rahim seorang ibu yang sampai saat ini belum bisa saya bahagiakan sepenuhnya, saya dilahirkan. Didampingi seorang ayah luar biasa yang terus memberikan saya spirit untuk terus belajar. Saya tidak tahu apakah kedua orang tua saya ingat kalau hari ini saya berulang tahun. Itu memang tidak penting.

Saya yakin bahwa orang tua selalu mendoakan saya. Jadi tidak begitu penting untuk memohon doa mereka di hari dimana saya dahulu pertama kali mengenal dunia. Mereka lah yang berandil besar baik moral maupun material terhadap “kesuksesan” perjalanan hidup saya. Dalam setiap langkah dan ibadah ayah dan ibu, terselip doa pastinya untuk saya, dan kedua adik saya.

Sedikit bercerita. Saya baru tahu hal ini kira-kira setengah tahunan yang lalu. Saya sebenarnya dilahirkan tanggal 8 Februari. Tapi karena saya dilahirkan lepas Maghrib, dan dalam kalender hijriah dan tradisi Jawa, ba’da Maghrib itu sudah masuk hitungan hari berikutnya maka saya dianggap lahir tanggal 9 Februari. Jadi, kalau mau mengucapkan selamat milad kepada saya boleh dimulai dari ba’da maghrib kemarin malam.

Di keluarga saya memang tidak ada tradisi perayaan ulang tahun. Saya secara pribadi tidak pernah protes ke orang tua. Justru hal ini menjadi pembelajaran penting bagi saya. Ada yang lebih penting dari sekadar seremonial. Banyak hal yang justru lebih urgen dibanding sekadar perayaan. Penghayatan tentang apa yang telah saya lakukan sepanjang usia yang dianugerahkan Allah yang jauh lebih penting.

Beberapa SMS ucapan selamat yang masuk ke HP saya berisi doa supaya saya sukses selalu, dan seterusnya. Saya bersyukur kepada mereka yang begitu perhatian dengan diri saya. Kepada Allah jua saya berharap semoga doa-doa tersebut menjadi bagian dari permintaan yang terkabulkan. Semoga keinginan baik saya yang belum tercapai lekas dikabulkan juga.

Ada doa yang cukup berbeda. Kata seorang adik, “… cepat wisuda, cepat menikah. He…” Saya hanya bisa berucap, “Amin…” Doa saya: “Ya Allah, hamba tidak tahu kapan nafas yang saat ini masih berhembus akan menemui titik henti. Jika Engkau akan Menghentikannya maka Hentikan pada tempat dan waktu dimana setiap orang ingin berhenti di tempat dan waktu tersebut.” Āmīn. []






Jumat, 08 Februari 2013

(Kalau) Rezeki Sudah Dijamin

Oleh: Samsul Zakaria


Rezeki itu ada di tangan Tuhan tetapi kalau tidak diambil akan tetap berada di tangan Tuhan.” Sebuah ungkapan yang sering didengar dan senantiasa menarik untuk dijadikan bahan renungan. Bahwa mutiara tidak keluar begitu saja dari dasar lautan. Emas tidak nongol tanpa sebab dari dasar bumi. Uang tidak turun cuma-cuma dari langit yang jauh di sana. Semua itu butuh usaha, yang seringkali tidak mudah.

Dalam Surat Hūd [11] ayat 6, Allah berfirman: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allah rezekinya…” Makhluk bergerak (bernyawa) adalah terjemahan dari kata “dābbah”. Secara bahasa, dābbah maknanya adalah hewan (yang) melata. Secara sederhana dapat dipahami bahwa jaminan rezeki dari Allah itu tidak datang begitu saja. Harus didahului dengan usaha: gerak, melata, berjalan.

Dalam kitab Tafsīr Ibn Katsīr dijelaskan: “Akhbara ta’āla annahu mutakaffilun bi arzāqil makhluqāt min sā-iri dābbatil ardi shaghīrihā wa kabīrihā, bahrīhā wa barrīhā…” Artinya, Allah ta’āla mengabarkan bahwa Dia adalah penjamin rezeki seluruh makhluk dari sekian banyak hewan melata di dunia (termasuk manusia). Baik yang kecil maupun yang besar, yang ada di lautan dan yang berada di bumi.

Tidak perlu terkejut ketika manusia dalam firman tersebut termasuk bagian dari dābbah atau binatang melata. Pasalnya, manusia sebenarnya adalah “binatang” yang diberikan kelebihan lain yaitu akal dan kemampuan komunikasi yang baik. Oleh karena itu, dalam ilmu mantik manusia diistilahkan dengan hayawān-un nāthiq-un, “binatang” yang pandai bercakap/berbicara.

Lepas dari beberapa pembahasan tersebut, manusia secara khusus haruslah berikhtiar untuk mendapatkan rezeki dari Allah. Logikanya sederhana. Allah itu menyediakan jalan rezeki yang banyak di depan pintu rumah kita. Katakanlah jalan rezeki tersebut berupa sungai yang mengalir tepat di depan rumah kita tadi. Tugas kita adalah membuat selokan yang mengalirkan air sungai ke rumah kita. Itulah yang menjadi rezeki kita sesungguhnya.
               
Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang hanya berpangku tangan tetapi rezekinya mengalir begitu deras? Jawabannya karena selain ada sunnatullah di dunia ini juga ada yang namanya takdir. Sunnatullah itu kalau kita berusaha berarti kita mendapatkan hasil usaha kita. Sementara takdir, menurut Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, adalah apa yang kita dapatkan namun bukan yang kita usahakan.
               
Maksud takdir adalah orang yang tidak berusaha namun mendapatkan sesuatu yang seharusnya didapatkan dengan usaha. Dia mendapatkannya tanpa usaha karena memang Allah dengan kekuasaan-Nya menakdirkannya demikian. Nah, itu dapat dikatakan sebagai pengeculian. Dalam taraf normal dan standar, manusia tetap diperintahkan untuk berusaha, menjemput rezeki yang sudah disediakan Allah.

Setelah mendapat rezeki, yang halal pastinya, lalu apa yang kita lakukan? Selanjutnya, harus dipahami dan disadari bahwa rezeki hakikatnya adalah titipan. Tidak ada seorang hamba pun yang memiliki otoritas untuk menguasai rezeki (baca: harta) secara mutlak. Semua yang kita miliki adalah titipan, sepantasnya digunakan untuk amal kebaikan, karena pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban. Allāhu a’lamu. []