Senin, 29 April 2013

Sayonara Ujian Nasional

Oleh: Samsul Zakaria
 
SEGENAP persoalan yang menghiasi prosesi akbar bernama Ujian Nasional (UN) tahun ini memaksa kita berpikir, mengapa UN masih juga dipertahankan? UN pada wilayah yang sangat ekstrim menjelma menjadi musibah nasional yang harus segera dicarikan solusinya. Betapa banyak anak bangsa yang seharusnya bebas berkreativitas tetapi kemudian terkungkung dalam tempurung sempit bernama UN.  

Kalau boleh berspekulasi, munculnya UN –bisa jadi– berangkat dari realitas bahwa negara-negara maju sudah menerapkan evaluasi akhir “semacam” UN. Tetapi kalau dikembalikan kepada kondisi nyata bangsa Indonesia, saya merasa bahwa yang demikian itu bukanlah sebuah evaluasi yang bijak. Rentang wilayah geografis yang begitu luas, tidak mungkin disatukan dalam konteks penilaian akademis yang begitu sakral bernama UN.

Semua negara pasti ingin meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. Pendidikan, yang diiringi dengan keberlanjutan langkah yang sistematis, akan berimbas positif terhadap kemajuan bangsa. Masalahnya adalah ketika kebijakan pendidikan dibuat tanpa pertimbangan yang matang dan terkesan “asal-asalan”. Kalau begitu, bukan semakin maju pendidikan kita, tetapi justru menurun alias anjlok.

Setiap tahun UN tidak pernah absen dari pelbagai masalah, yang sebenarnya sama dan serupa. Ironisnya, UN masih terus dilanjutkan, seolah masalah yang hadir adalah angin lalu yang tidak perlu dipikirkan secara serius. Benar bahwa sebuah kebijakan memang diperuntukkan untuk kemaslahatan umat (bangsa). Tetapi, kalau ternyata kebijakan itu membawa petaka bukankah lebih baik dicarikan format lainnya saja?

Berbicara UN secara universal, UN seakan menjadi penentu penting keberhasilan pendidikan seorang siswa. Padahal, sudah banyak dipaparkan bahwa nilai akademis bukanlah semata-mata acuan kesalihan siswa. Jika dibawa dalam konteks perguruan tinggi, banyak perusahaan yang justru tidak mau menerima lulusan S-1 yang IPK-nya tinggi. Pasalnya, mereka yang nilainya tinggi tidak berarti mempunyai integritas yang tinggi pula.

Berangkat dari sini, sudah waktunya kita mengucapkan sayonara UN, lalu menuju model yang lebih manusiawi dan diterima semua kalangan. Paradigma pendidikan juga perlu –terlebih dahulu– diluruskan. Bahwa belajar bukanlah semata mencari nilai tetapi lebih jauh dan lebih mulia dari sekadar nilai. Pendidikan adalah kebutuhan yang menjadi tanggung jawab personal setiap insan.

Sosialisasi masif pendidikan karakter kalau dibaca secara mendalam sebenarnya tidak berkaitan dengan “angka/nilai” sebagaimana adanya UN. Pendidikan yang demikian lebih kepada pembangunan kepribadian siswa sehingga mereka siap untuk menghadapi “lika-liku” kehidupan. Di saat karakter sudah terbangun maka sebenarnya angka akademis yang sangat statis itu tidak lagi penting.

Ditambah dengan kecurangan yang terjadi dalam UN, suka atau tidak suka pasti bertolak belakang dengan pendidikan karakter itu sendiri. Padahal, salah satu indikasi keberhasilan pendidikan karakter adalah kejujuran. Sementara menyontek adalah contoh yang sebaliknya dari kejujuran itu sendiri. Inilah realitas yang kontradiktif dan secara faktual terjadi di negara kita, Indonesia.

Lahirnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang fokus pada keterampilan hidup siswa, tentu laik untuk diapresiasi. Dengan begitu, pendidikan menjadi fasilitator siswa untuk menyelesaikan persoalan hidup, dan bukan semata menyelesaikan soal ujian seperti halnya UN. Jika model yang demikian dapat diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan, mungkin akan lebih baik dan menarik.

Terakhir, UN dengan segala persoalan peliknya menjadi bagian dari sejarah (kelam) pendidikan bangsa. Dengan segenap masalah yang ada di dalamnya UN pada akhirnya juga tidak bisa dijadikan patokan keberhasilan siswa. Ujian itu memang penting sebagai bagian dari evaluasi. Tetapi kalau ujian kemudian disentral-sakralkan dan menjadi penentu dominan kelulusan, inilah masalah. Mari sama-sama bernyanyi, “Sayonara Ujian Nasional.”


[Diterbitkan ulang dari: Okezone]

0 komentar:

Posting Komentar