Rabu, 10 April 2013

Beridola secara Dewasa

Oleh: Samsul Zakaria (Ka' Sams)


"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari!” Peribahasa yang sangat familiar itu adalah potret dari sikap beridola secara tidak dewasa. Beridola berarti kagum dengan seseorang kemudian menjadikannya teladan dalam kehidupan. Seorang murid memang tidak salah ketika mengidolakan “gurunya”. Masalah adalah ketika “pengidolaan” itu berjalan tanpa proses penyaringan, mana yang baik dan sebaliknya.

Sama halnya dengan seseorang yang mempunyai kebiasaan merokok. Ketika ditanya mengapa merokok? Dengan santai ia menjawab: “Seorang tokoh agama saja merokok, mengapa saya tidak boleh merokok?” Sebuah jawaban apologis plus menjadikan orang lain sebagai “kambing hitam” dari tabiat hidup yang kurang baik. Berangkat dari realitas ini, beridola secara dewasa menjadi sangat penting.

Dalam tradisi Islam, sosok yang paling ideal untuk dijadikan idola adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang nabi dan rasul pilihan, tentu seluruh aktivitas kehidupan beliau sudah selaiknya diteladani. Baik dalam wilayah ibadah ritual transendental maupun dalam hal kesalihan relasi sosial. Kalau beliau yang menjadi idolanya maka konsepsi “beridola secara dewasa” tidak lagi penting.

Berbeda halnya ketika kita memiliki idola selain Nabi Muhammad SAW. Upaya untuk menyaring mana yang baik dan tidak menjadi sangat urgen. Kita tahu setiap individu tidak lepas dari yang namanya kesalahan dan kekurangan. Seorang yang beridola secara buta dan militan biasanya tidak lagi mampu membedakan antara yang positif dan negatif. Akhirnya, ia mengikuti sang idolanya secara total dan –seringkali– berlebihan.

Dalam sebuah talk show di sebuah stasiun radio swasta dengan sangat hati-hati saya pernah berujar. Mengidolakan seorang artis sekalipun, sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Tentu dalam format untuk meneladani semangat artis tersebut dalam berkarya. Nantinya, kita akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Namun untuk –misalnya– kebiasaan artis tersebut yang menyimpang, kita tidak patut mencontohnya.

Ada falsasah yang menurut saya menarik untuk dijadikan renungan. “Alam takambang jadi guru,” kata orang Minang. Sejatinya, seluruh ciptaan Tuhan itu, baik yang hidup maupun yang mati, pantas untuk diangkat sebagai “idola hidup”. Pasalnya, Tuhan menciptakan segala yang ada dengan pertimbangan, jauh dari kesia-siaan. Pembelajaran yang demikian juga semakin mengasah kearifan kita sebagai manusia.

Selanjutnya, beridola secara dewasa juga berarti bahwa kita tidak seharusnya bersikap pasif, tetapi harus mencoba untuk aktif. Kalau selama ini kita sangat nyaman untuk menjadikan orang lain sebagai idola, lalu kapan kita siap menjadi idola? Seorang yang diidolakan pasti memiliki kelebihan. Artinya, kalau kita mau menjadi idola maka harus juga menyiapkan kelebihan khusus yang tidak dimiliki kebanyakan orang.

Beridola tidak lain adalah proses untuk menempa diri kita secara berkelanjutan. Dari “pengidolaan” tersebut, kita dapat menarik benang merah untuk dijadikan modal kehidupan. Pada waktunya, kita tentu tidak mau selalu mengekor. Kita juga berkeinginan untuk menjadi lokomotif perubahan kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Dan ini bermula dari kedewasaan kita tadi, dalam beridola.

Terakhir, mari kembali merenung. Sudahkah kita menjadi pribadi yang dewasa dalam beridola? Ataukah kita tak lebih dari anak kecil yang mengikuti begitu saja apa yang menurut kita sedap dipandang mata? Sebagai mahasiswa yang tentu dituntut berpikir kritis, saya yakin kita bisa beridola secara dewasa. Beridola secara dewasa adalah bukti bahwa kita memang termasuk golongan orang yang cerdas dan dewasa. Semoga! []

1 komentar: