Kamis, 20 Juni 2013

KAILA DAN CINCINKU

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
“Boleh dunk tahu nama adik siapa?” tanyaku pada gadis kecil itu.

“Kaila,” jawabnya singkat. Nama yang indah, batinku.

***

Malam itu, adzan Isya’ sudah mulai berkumandang dari masjid sekitar. Aku yang sejak shalat Maghrib masih menetap di mushalla turut-serta mengumandangkan adzan. Sebelumnya, datang seorang bapak dan ibu disertai putrinya yang masih belia. “Maaf, Mas. Kami numpang shalat,” ucapnya padaku. “Silakan, Pak! Monggo!” jawabku, seraya langsung mengambil posisi untuk mengumandangkan adzan.

Inilah yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, rasanya aku tidak pernah mendengar sahut-sahutan adzan. Sebab, jarak antar masjid di Malaysia sangat jauh. Di sana, yang banyak itu surau (mushalla). Dan pengeras suara surau tentu tidak sekeras masjid. Sementara di Indonesia, masjid bertebaran di mana-mana. Saat waktu shalat tiba, seolah ada lomba adzan antar masjid.

***
   
Adzan sudah aku kumandangkan. Selepas itu, aku berniat untuk menunaikan shalat rawatib, qabliyah Isya’. Tetapi aku mengurungkannya. Aku lebih tertarik untuk bercakap-cakap dengan gadis kecil yang ada di mushalla itu. Aku mencoba mendekatinya. Aku perhatikan, dia juga “tertarik” padaku. Diapun tidak menolak saat aku berusaha untuk menggendongnya. Dia mengenalkan diri dengan nama “Kaila”.

Kaila yang aku taksir berumur 3 tahun itu sudah nyerocos omongannya. Dengan ucapan yang tidak begitu jelas, aku mengerti apa yang dia maksudkan. “Rumahku dekat dari cini. Aku mau beli batu...,” katanya. Batu? Hem, ternyata maksudnya adalah “baju”. Namun karena dia masih belum fasih, sehingga masih keliru sebut. Kaila walaupun tidak menolak, nampak tidak nyaman di gendonganku.

***

Aku menurunkannya dari gendonganku. Aku membersamainya di atas hamparan lantai mushalla itu. Aku tunjukkan pula padanya cincin yang melingkar di jari manisku. Aku melepaskan cincin itu dan memutar-mutarkannya di atas lantai. Kaila nampak senang dan ingin mengambil cincin itu. Aku berusaha merebutnya. Aku katakan kalau cincin itu terlalu besar untuk jari Kaila yang kecil dan mungil. Kaila seolah tidak puas.

Aku masukkan cincin itu ke jari-jari kaila. Dari kelingking sampai jari telunjuknya. Benar saja cincin itu dapat masuk dan keluar dengan sangat mudah. Kaila pun mengerti kalau cincinku memang tidak pas untuk dikenakannya. “Kaila mau beli cincin?” tanyaku. “Iya, iya, iya. Di sana...,” jawabnya, sembari menunjuk toko yang ada di depan mushalla itu. Setelah itu, aku mencoba untuk menimang-nimang Kaila kembali.

Tak lama kemudian, datang seorang santri. “Siapa itu, Mas?” tanyanya penasaran. “Saudaraku.” “Kandung?” “Bukan,” jawabku. Ini adalah trik lama. Maksudku saudara itu adalah saudara sesama muslim. Sebab, setiap muslim hakikatnya adalah saudara. Dan santri tadi nampak percaya dengan apa yang saya katakan. Barangkali dia sudah membatin bahwa maksud saya hanyalah saudara sesama muslim tadi. 

***

Orang tua Kaila selesai menunaikan shalatnya. Mereka memang sengaja shalat sendiri (berdua). Tidak menunggu waktu berjamaah bersamaku dan teman-teman santri lainnya. Mereka terlihat gembira tahu kalau Kaila dekat denganku. “Wah, kecil-kecil sudah cas cis cus ngomongnya, Pak...,” komentarku. “Iya, Dik. Tapi masih salah-salah,” tuturnya, menimpali. Bapak dan ibu itu bersama Kaila kemudian meninggalkan mushalla pesantrenku.

Kaila sudah pergi, dan aku tidak tahu dimana sebenarnya rumahnya. Cincinku kembali aku sematkan pada jari manisku. Asal Kaila tahu bahwa cincin itu sangat berharga buatku. Meskipun berharga, saat ini cincinku tidak ada kaitannya dengan perempuan manapun. Terima kasih Kaila, telah menghiburku, sedikit mengobati rinduku pada adik perempuanku. Doakan aku, supaya lekas mendapat SIM C: Surat Izin Memakaikan Cincin. Āmīn. []

_______________________
Picture: http3.bp.blogspot.com-4apbj4sg2-8UGA-6nM4fWIAAAAAAAADSo2LIDNkDBeQAs1600cincin.jpg
 

0 komentar:

Posting Komentar