Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Jumat, 17 Oktober 2014

KERTAS PUTIH

Catatan: Cukup lama saya tidak menyapa pembaca melalui blog ini. Alhamdulillah, hari ini saya berkesempatan untuk berbagi satu tulisan berjudul "Kertas Putih". Tulisan ini terbit di Buletin al-Rasikh Universitas Islam Indonesia, Jumat (17/10/14). Selamat membaca!


Source: http://princessamanda.net/wp-content/uploads/2014/03/pensil-warna-kertas-putih.jpg

Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum [30]: 30)



Sungguh, begitu indah bila kita kembali mengingat masa kecil. Begitu banyak kenangan yang telah terukir. Saat kita bermain dengan asyiknya tanpa beban sedikitpun. Kala kita bebas mengemukakan pendapat tanpa rasa takut secuilpun. Setiap hari yang berlalu adalah cuplikan episode kehidupan yang menancap lekat dalam pikiran. Semuanya kita terima yang seringkali tanpa penolakan sama sekali. Sebab, saat itu kita teramat suci, begitu bersih, sangat jernih, tanpa noda yang mengotori.

Kisah masa kecil tentu sangat variatif. Antara yang satu dan lainnya kemungkinan besar berbeda. Pasalnya, banyak faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Sederhananya, dua anak yang terlahir kembar. Mereka menyapa dunia dari rahim yang sama. Orangtuanya sama, lingkungannya juga sama. Tetapi tidak ada jaminan kenangan masa kecilnya akan sama (persis). Bila si kembar saja sudah lain kisahnya tentu lebih lain lagi untuk si kecil yang tidak kembar.

Kisah Si Kecil
Kisah pertama. Saya teringat saat masih awal-awal duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Saya biasa belajar ditemani ibunda tercinta. Kala itu, ibunda saya bertanya. “Samsul, surga ada dimana?” tanya beliau. Saya yang masih belum banyak mengecap garam kehidupan tentu cukup bingung untuk menjawabnya. Sejenak saya berpikir. Dalam bayangan saya saat itu, yang namanya benda-benda ghaib (termasuk surga) pasti adanya di langit. Akhirnya saya jawab, “Surga ada di langit.”
   
Jawaban saya ternyata tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh ibunda. Seingat saya, ibunda waktu itu kecewa (“marah”) sembari menerangkan jawaban yang benar. Katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu alias di telapak kakinya. Saya hanya mengiyakan tanpa bertanya macam-macam. Bila saya amati secara lahiriah, tentu sulit mencari surga yang ada di bawah telapak kaki ibu tersebut. “Sampai sekarang, kalau saya cari(-cari) juga tidak ketemu,” biasa saya berseloroh.
   
Hingga pada akhirnya saya mengerti dan paham. Perkataan ibunda saya bermakna filosofis. Surga di bawah telapak kaki ibu itu maksudnya, kalau kita taat kepada ibu maka jaminannya adalah surga. Itulah salah satu kisah masa kecil saya, yang tentunya sampai sekarang masih begitu berkesan. Bagaimana cara ibunda saya memberikan pengertian kepada saya, menjadi pelajaran tersendiri. Dimana keterangan ibunda yang berwujud jawaban sebenarnya adalah ‘PR’ tersendiri bagi saya yang cukap lama untuk dituntaskan.
   
Kisah kedua. Tahun 2012, saya menjalani KKN di daerah Srandakan, Bantul. Saat berada di sana, bersama teman satu unit, kami mencoba untuk bersosialisasi dengan warga. Bentuk sosialisasinya adalah dengan menjalankan program yang sudah terencana sebelumnya. Diantara program unit kami yaitu ikut serta menjadi pengajar TPA. Sampailah pada satu sore dimana saya bertindak sebagai salah satu pengajar. Setelah belajar baca Al-Quran (Iqra’), beberapa santri laki-laki diminta kumpul di dalam masjid.
   
Saya mencoba “mengamankan” suasana kelas yang cukup gaduh. Tatkala kelas sudah mulai kondusif, saya mulai bercerita banyak hal kepada mereka. Entah bagaimana awalnya, saya kemudian bertanya kepada mereka. “Siapa Gubernur Jogja saat ini?” tanya saya. Hampir setengah dari mereka menjawab, “Jokowi.” Saya tentu saja terkejut. Prediksi saya, mereka sangat mengerti siapa Gubernur Jogja saat itu (sampai saat ini) dan menjawabnya dengan fasih. Ekspektasi saya ternyata salah.   
   
Mereka tentu saja tidak semata-mata salah. Jokowi kala itu memang sedang digadang-gadang menjadi Gubernur Jakarta. Mereka yang sudah melek media, termakan olehnya. Jokowi yang baru akan menjadi Gubernur Jakarta, mereka persepsikan sebagai gubernur mereka, Gubernur Jogja. Menariknya, saat saya terkejut dengan jawaban tadi, ekspresi mereka biasa-biasa saja. Itulah dunia si kecil, apa adanya, spontan, tanpa beban, tanpa banyak analisis dan pertimbangan.   
     
Kisah ketiga. Saya bersyukur dipertemukan dengan si kecil yang keren dan kritis. Namanya Harsa, umurnya belum seberapa. Tetapi kemampuannya sudah luar biasa. Sekarang baru kelas 2 (setingkat) SD tetapi sudah lancar baca Al-Quran dan hampir menyelesaikan juz 28. Suatu hari, di sela-sela membaca Al-Quran, dia dengan kritis bertanya. “Ustadz, Allah itu datangnya darimana? Aku tuh bingung. Masak Allah tiba-tiba datang. Aku tuh bingung,” tanyanya. Pertanyaan itu tidak cukup sekali dia utarakan.   
   
Di kesempatan lain, dia masih menanyakan hal yang sama. Itu artinya jawaban yang sebelumnya saya berikan belum memuaskan. Saya akui, tidak mudah menjelaskan hal seperti itu kepada si kecil yang baru berusia sekitar 8 tahun. Dari kisah tadi, saya tentu harus lebih banyak belajar. Boleh jadi anak saya nanti akan menanyakan perihal yang sama atau lebih runyam dari yang Harsa tanyakan. Saya harus mempersiapkan jawaban yang terbaik, masuk dalam logika anak-anak, dan tidak menggurui.
   
Menanyakan darimana Allah berasal, bagi orang dewasa, adalah sesuatu yang tabu. Tetapi bagi si kecil, itulah pertanyaan spontan yang mungkin selama ini cukup “mengganggu” pikiran. Akhirnya, tanpa rasa khawatir akan dikatakan begini dan begitu, dia menanyakannya secara lugas (dan terang-terangan). Bila kita jawab Allah itu berbeda dengan kita. Kita diciptakan dan Allah Yang Menciptakan kita sekaligus Allah itu tidak diciptakan siapa-siapa. Alah itu Yang Awal dan Yang Akhir. Itu tetap belum memuaskan.
   
Kisah keempat. Harsa adalah putra kedua yang memiliki 2 saudara, kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Bila Harsa cukup kritis maka adiknya—Hakan, namanya—pun kurang lebih demikian atau bahkan nantinya akan lebih kritis. Sekali lagi, di sela-sela belajar membaca Al-Quran, Hakan tiba-tiba bertanya. “Ustadz, Allah itu pakai peci atau nggak?” tanyanya. Saya kemudian menjawab, “Tidak.” Dia lalu melanjutkan. “Kalau begitu, Allah shalat nggak?” tuturnya, kembali bertanya.
   
Tidak mudah menjawab pertanyaan model beginian. Pastinya, Hakan membutuhkan jawaban segera, secepat dia meneruskan pertanyaan pertamanya. Saya kemudian menimpali. “Allah ya tidak shalat, Hakan.” Lantas dia protes. “Kalau begitu, Allah tidak Islam?” katanya. Bagi Hakan, Allah pun harus Islam dan konsekuensinya Allah juga harus shalat. Pola relasi antara kita dengan Allah, bila dipaparkan, tidak begitu saja memberikan jawaban menenangkan. Hakan menginginkan semuanya harus setara.    
   
Itulah beberapa hal yang bertautan dengan dunia si kecil yang penuh warna dan dinamika. Kita terbiasa berdiskusi tentang banyak hal dengan simpulan akhir yang cukup menenangkan. Tetapi ketika lawan diskusi itu mereka yang masih begitu suci, menjadi lain ceritanya. Kita perlu ilmu khusus, butuh referensi spesial, untuk menghadapi mereka yang tanpa topeng dan jauh dari pencitraan. Dari kisah tadi kita sadar, kita mungkin pernah berpikir hal yang sama tetapi tidak berkesempatan untuk mengungkapkannya. 

Belajar dari Ibrahim AS
Tentu masih hangat dalam ingatan kita tentang kisah Ibrahim AS dan putra tercintanya, Isma’il AS. Merujuk Tafsir al-Jalālain, kala itu usia Isma’il masih cukup belia. Antara 7 sampai 13 tahun. Lainnya (dari Tafsir al-Qurthubiy), dikatakan bahwa Isma’il AS saat itu sudah mimpi basah (ihtilām). Intinya, Isma’il AS masih belum benar-benar dewasa secara umur. Namun bila dicermati bagaimana dia berkomunikasi dengan Ibrahim AS, sungguh sangat matang sikap-mentalnya.
  
Ibrahim AS sebagai ayah yang demokratis tidak memaksakan kehendaknya. Menerima perintah sebagai ujian yang berat dari Allah, terlebih dahulu dia meminta pertimbangan putranya. “Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Lalu bagaimana pandanganmu tentang hal tersebut?” tanya Ibrahim AS. “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang yang sabar,” kata Isma’il AS.  (QS. ash-Shāffāt [37]: 102).
   
Karakter Isma’il AS sedemikian terbangun. Dia sadar betul bahwa Allah adalah segalanya. Semua yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Segala yang kita punya termasuk nyawa yang bersemayam dalam jiwa adalah titipan. Titipan itu sifatnya sementara, pada waktunya akan diminta oleh yang menitipkan. Allah lah yang berhak atas segala sesuatunya tersebut. Pemahaman Isma’il AS itu tentu tidak lepas dari bagaimana Ibrahim AS menulis kebaikan dengan tinta emas pada diri Isma’il AS.

Isma’il AS kecil dan si kecil lain laksana kertas putih yang masih suci. Dia belum mengerti apa-apa dan karena itu sangat mudah menerima apa-apa. Kertas putih itulah yang kemudian ditempa (ditulisi); oleh orang tuanya, keluarga besarnya, lingkungan sekitarnya, tempat belajarnya, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan si kecil yang seringkali kritis adalah refleksi dari kesucian diri yang belum banyak terkontaminasi. Kita yang bertugas mengarahkan pada fitrah yang sesungguhnya. Wallāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam FIAI UII