Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Senin, 12 Mei 2014

BAHAGIA TANPA SYARAT

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’du [13]: 28)


Source: http://alrasikh.uii.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/bahagia.jpg


Tamsil berikut ini barangkali dapat mewakili kondisi hati manusia pada umumnya. “Saya akan bahagia kalau saya sudah menikah,” kata Fulan kepada teman karibnya. Waktu berlalu dengan begitu cepat. Takdir menghantarkan Fulan pada perjumpaan dengan seorang gadis shalihah nan cantik. Gadis itulah yang kemudian menjadi istri Fulan. “Bagaimana, Kawanku? Sudahkah engkau menemukan kebahagiaan?” tanya teman Fulan. Seketika Fulan tersadarkan dengan ucapannya 2 tahun lalu.

“Aku memang sudah menikah, Kawan. Dengan seorang wanita yang tidak hanya cantik lahir tetapi juga cantik akhlak dan perangainya,” ucap Fulan lirih. “Tetapi barangkali aku akan bahagia kalau sudah dikaruniai seorang anak nanti,” lanjutnya. Teman Fulan yang sebenarnya ingin memberikan pengertian kepada Fulan, terdiam sejenak. Dia mencoba merangkai kata untuk memberikan nasihat kepada Fulan. “Kawanku, sebagai seorang teman saya mengerti bagaimana perasaanmu. Aku pun pernah merasakan hal yang sama dalam kasus yang berbeda,” ujarnya.

“Di awal pernikahan, aku berpikir begini. Mungkin aku bisa bahagia kalau sudah punya rumah sendiri. Tidak lagi tinggal serumah dengan mertua. Setelah punya rumah, pikiranku berubah total. Aku baru bisa bahagia kalau sudah punya mobil pribadi. Tidak lagi pakai motor kemana-mana dan sering kehujanan bila lupa membawa mantel,” lanjut teman Fulan cukup panjang. “Dan sayangnya, Kawan. Pikiranku kembali berubah saat mobil sudah Allah berikan padaku,” tutupnya.

Fulan tertunduk malu, seolah tak tertarik memberikan respon. Saat itu, Fulan merasa “dikuliti” oleh temannya sendiri. “Terus sekarang kamu kok tampak bahagia? Bagaimana resepnya?” tanya Fulan, mulai membuka diskusi. Pundak Fulan ditepuk pelan oleh temannya. “Itulah, Kawan. Semakin kita mensyaratkan sesuatu untuk bahagia maka kita semakin tersiksa. Ironisnya, bahagia tak kunjung datang bahkan seolah menjauh. Bahagia itu sederhana. Bahagia tidak dimana-mana, tetapi ada di sini,” tutur teman Fulan sembari menepuk dadanya sendiri.

“Bahagia itu pilihan. Bahagia milik semua orang. Kita berhak untuk terus bahagia, termasuk dirimu, Kawan. Bahagia itu tidak mensyaratkan apa-apa. Saat kita merasa bahwa Allah telah menganugerahkan segalanya saat itulah kita bahagia. Bukan berarti mengusahakan yang lebih baik itu tidak boleh. Tetapi jangan sampai karena harapan yang lebih itu menjadikan kita tidak bahagia saat ini. Dengan bahagia saat ini justru menjadikan kita lebih siap untuk menghadapi segenap kemungkinan hidup,” pungkas teman Fulan, mengakhiri nasihatnya.

Aura Positif
Saya bersyukur bisa mengikuti seminar motivasi yang diadakan salah satu fakultas di UII. Acara tersebut menghadirkan motivator pemegang Rekor Muri untuk training motivasi dengan peserta lebih dari 18.000 orang. Adalah Nanang Qosim Yusuf (Naqoy), motivator yang saya maksud. Dia menyampaikan renungan tentang banyak hal. Satu hal menarik yang terus terngiang dalam hati saya yaitu tentang bahagia tanpa syarat. Bahagia Tanpa Syarat atau Unconditional Happiness akan menjadi judul buku Naqoy selanjutnya.

Kala itu, Naqoy bercerita tentang seorang yang terus mensyaratkan ini dan itu untuk bahagia. Apa yang terjadi pada akhirnya? Di saat tubuhnya sudah tua renta, dia tidak juga menjumpai bahagia. “Mungkin aku baru akan bahagia di akhirat sana,” katanya. Sementara tidak ada jaminan mutlak kita akan bahagia di akhirat. Bahagia akhirat adalah akumulasi dari bahagia yang terus kita bangun dan jaga semenjak hidup di dunia. Oleh karena itulah, mengikuti nasihat Naqoy, saat inilah waktu yang tepat untuk bahagia. Bagaimanapun kondisi kita.

Untuk menjadi bahagia memang memerlukan latihan yang biasanya memakan waktu cukup panjang. Latihan tersebut bagai mengumpulkan puzzle bahagia untuk sampai pada bahagia yang sesungguhnya. Bahagia yang sesungguhnya adalah satu paket perasaan yang terkumpul dalam hati dan jiwa. Mereka yang bahagia akan memandang dunia dengan pandangan yang sewajarnya. Sebab, bahagia sejati senantiasa bertautan dengan kesadaran akan hadirnya Allah, Rabbul ‘Izzati. Bila sudah demikian maka dimensi kebahagiaan menjadi hakiki dan permanen.

Saya kembali teringat pesan Naqoy. Mereka yang bahagia akan memancarkan aura yang penuh kasih. Mereka berjalan di atas kasih sayang Allah dan karenanya tersadarkan untuk membagikan kasih sayang itu kepada orang lain. Sebaliknya, mereka yang tidak bahagia membawa “aura kasihan”. Tidak ada gairah dalam hidup. Pikirannya dihantui oleh perasaan bahwa dia baru akan bahagia bila sudah begini dan begitu. Padahal jika mereka memilih bahagia, bahagia akan menjadi miliknya. Sekali lagi karena bahagia adalah hak dan pilihan kita.

Kebahagiaan yang kita rasakan memang harus disebarkan kepada semua orang. Kemanapun kita pergi, kita harus membawa aura atau energi yang positif. Saat berjumpa dengan karib kerabat, kolega, dan rekan kerja, senyuman indah dihadirkan. Dikala orang lain butuh nasihat dan masukan maka orang yang bahagia akan dengan mudah memberikannya. Baginya, hidup bukan semata untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana hidup yang sebentar dapat memberikan pengaruh positif yang besar.

Bahagia, Menyegerakan Kebaikan
Dampak positif dari bahagia tanpa syarat adalah kesegeraan dalam berbuat kebaikan. Saya masih ingat tadzkirah seorang kiyai di desa saya dulu. Banyak orang yang bilang: “Saya akan rajin shalat kalau punya motor.” Ketika sudah benar-benar punya motor ada saja alasan untuk tidak rajin shalat. Baik alasan untuk mendapatkan yang lebih dari motor atau karena punya motor hingga lupa shalat. Pepatah bijak berbunyi: “Kalau ada kemauan ada seribu jalan. Saat tidak ada kemauan ada seribu alasan.”

Perasaaan bahagia yang terus terpatri dalam hati menjadikan kita sadar hidup ini cepat atau lambat akan berakhir. Bila selama ini sering berbuat kebaikan maka harus disyukuri tetapi bukan dalam rangka menyombongkan diri. Bila banyak kesempatan untuk berbuat baik yang sering terlewat, sekarang saatnya untuk merebutnya cepat-cepat. Apapun yang kita miliki itulah titipan Allah yang kita harus bahagia karenanya. Esok hari mentari mungkin masih menyapa. Tetapi, usia diri tidak ada yang berani memberi jaminan pasti. Kesempatan kita terbatas(i).

Bahagia memang berbeda dengan sebatas senang. Sebuah diskusi hangat para dosen membahas apakah sama antara bahagia dan senang. Banyak yang cenderung menyatakan bahwa bahagia itu permanen dan hakiki. Adapun senang itu sementara dan tidak bertahan lama. Oleh karena itu, dalam konteks inilah perlu untuk menimbang apakah saat ini kita sedang bahagia atau sekadar senang. Bila kondisi itu menjadikan kita termotivasi untuk terus berbuat (lebih) baik, itu artinya kita memang bahagia. Bila tidak, jangan-jangan itu hanya kesenangan yang menipu.

Perjalanan hidup tentu saja harus melalui proses yang tidak tunggal. Ada suka dan duka. Ada senang juga ada derita. Ada cinta ada pula rasa benci. Tetapi semua itu tetaplah harus dihadapi dengan perasaan yang lapang dan senantiasa kembali kepada-Nya. Luka kehidupan menjadikan kita lebih tegar untuk menatap masa depan. Hidup mungkin saja pahit tetapi kebaikan mungkin kita ukir pada “rongga-rongga yang sempit”. Semua itu tetap dilakukan dalam bingkai syukur dan bahagia.

Allah, Syarat Bahagia
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana melatih diri untuk terus merasa bahagia. Meski onak duri datang menghampiri, senyum manis tetap hadir penuh arti. Pertanyaan itu juga tentu saja muncul dari saya pribadi. Sebagai insan yang sangat dha’if di sisi Allah, saya pun terus menasihati diri untuk menjaga rasa bahagia dalam hati. Sebagai salah satu caranya adalah dengan mengingat Allah (dzikrulLāh). Seperti ayat yang saya kutipkan di awal. Hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang.

Pada prinsipnya bahagia tidak membutuhkan syarat apa-apa. Tidak seperti promosi yang banyak beredar: “Syarat dan ketentuan berlaku.” Syarat bahagia itu sudah mendahului bahagia yang kita idamkan. Saat inilah waktunya untuk bahagia, tidak perlu menunggu lagi. Bila memang kita tetap butuh syarat untuk bahagia maka Allah ta’āla jawabannya. Dialah yang memberikan nikmat hidup sekaligus kesempatan untuk bahagia dengan anugerah itu. Bahagia karena Allah itulah yang menjadikan kita terus terawasi, disayangi, dikasihi, dan merasa tenang.

Saya pribadi berharap, tamsil di awal tulisan ini tidak semestinya menjadi kisah klasik yang masih digemari. Cukuplah ia menjadi kenangan karena saat ini kita sudah bahagia, tanpa syarat dan alasan. Bahagia yang kita rasakan—pada purnanya—adalah nikmat indah dari Allah. Karenanya, bahagia harus mengantarkan kita pada rasa syukur yang tiada terkira kepada-Nya. “Bagaimana aku bersyukur kepada-Mu padahal syukur itu sendiri adalah nikmat dari-Mu,” ungkap Nabi Dawud AS. Selamat berbahagia! WalLāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam FIAI