Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Sabtu, 01 Februari 2014

BCA


Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la [87]: 17)



Ada satu anekdot menarik yang saya dapatkan dari salah satu koran lokal Yogyakarta. Dikisahkan, ada seorang anak kelas 6 SD yang baru saja mendapatkan buku rapor, hasil belajarnya selama satu semester. Tak lama setelah itu, sang anak dikhitankan oleh kedua orang tuanya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, khitanan (sunatan) disertai dengan tasyakuran. Kebetulan, tasyakurannya hanya kecil-kecilan, sekadar mengundang tetangga sekitar. Tasyakuran berjalan dengan cukup sukses.

Dalam acara tasyakuran tersebut, beberapa tetangga yang datang memberikan amplop kepada ahli bait. Usai acara, amplop dibuka dan isinya—berupa uang—diberikan kepada sang anak. Tahu kalau jumlah uang itu lumayan banyak, dengan sangat polos sang anak berseloroh. “Ayah, saya mbok dikhitankan lagi biar uangnya tambah banyak,” kata sang anak. Tatkala membaca kisah ringkas tersebut, seketika saya tertawa. Ini aneh, lucu, langka, unik, tapi anehnya lagi sungguh-sungguh terjadi.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jalan pikiran sang anak. Tapi ada benarnya bahwa “motivasi” memang sangat penting dalam hidup ini. Sang anak tentu saja tahu bahwa dikhitan itu sakit, tidak enak, atau paling tidak kudu “bersemayam” beberapa hari di rumah. Anak tadi mengabaikan segenap ketidak-enakan tersebut karena tahu ada konsekuensi finansial di balik itu. Tak masalah dia menanggung sakit untuk kedua kalinya asalkan isi dompet semakin tebal. Bahkan, boleh jadi dia ingin dikhitan 3 sampai 4 kali.

Di satu sisi, tentu saya tidak menyalahkan nalar sang anak. Namanya juga anak-anak. Dimana setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Dahulu, walaupun saya juga dapat uang saat dikhitan tapi saya—sama sekali—tidak ingin dikhitan lagi untuk mendapat uang yang lebih. Barangkali keunikan saya sebagai anak kecil kala itu bukan dalam masalah khitan, tapi hal lain. Selebihnya, yang menarik untuk dibahas adalah bahwa “logika” sang anak sebenarnya menghinggapi setiap insan. Tentu tidak dalam konteks yang serupa.

Seorang bapak yang harus bekerja keras, memecah batu sekalipun katakanlah. Dia pasti tahu memecah batu di tengah terik matahari tidaklah mengenakkan. Tetapi mengapa dia rela melakukannya? Dialah ayah yang bertanggung jawab. Dia berpikir panjang, dan tidak egoistis. Dengan upah yang dia dapatkan, dia bisa menghidupi keluarga, menafkahi anak-istri. Biarlah badan menjadi hitam-legam asalkan dapur tetap berasap. Biarlah orang mencibir ini dan itu asalkan yang dia lakukan halal, tidak mendhalimi orang lain.

Sang bapak memiliki motivasi yang tinggi. Bapak tersebut tidak ubahnya sang anak tadi. Sang bapak akan melakukan aktivitas yang sama keesokan harinya. Dalam suasana yang sama, bahkan boleh jadi lebih tidak bersahabat. Tetapi sekali lagi dia tahu, ada hasil yang didapatkan dari rasa sakit sementara yang dia rasakan. Semakin dia menghayati dan bersyukur, rasa tidak enak alias “sakit” tadi menjelma menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Itulah motivasi, yang menjadikan kita rela untuk “sakit-sakit” dahulu.

Dua hal yang saya contohkan di atas menyangkut motivasi keduniaan yang sifatnya sementara. Bila ada istilah sementara maka tentu saja ada istilah yang sebaliknya; abadi, hakiki, permanen, dan sejati. Motivasi ke-sementara-an tersebut akan menjadi mulia apabila dibawa dalam konteks keabadian. Motivasi yang sementara memang tidak salah tetapi motivasi yang hakiki mutlak benarnya. Motivasi hakiki adalah penyandaran setiap aktivitas kehidupan kepada Sang Maha semata. 

Indah di Mata, Duri di Hati
Motivasi dunia seringkali membuat mata terpana dan silau. Akhirnya, kita lupa akan motivasi (ghāyah) yang sesungguhnya. Dunia senyatanya hanyalah wasilah untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, meraih keridhaan Allah. Sayangnya, dunia kemudian dipersepsikan sebagai tujuan. Dengan begitu, akhirat menjadi semakin tidak terindra, menjauh dari jangkauan mata. Sebagai titik baliknya “kaannaka tamūtu ghadan” (seakan engkau mati esok pagi) dapat menjadi jurus ampuh untuk mengatasinya. 

Nasihat yang sering kita dengar yaitu: “Posisikanlah dunia dalam genggamanmu!” Jika dunia sudah berada dalam genggaman, maka kita tidak dipermainkan oleh kehidupan. Sebaliknya, justru kita yang kemudian benar-benar mampu “mengatur” pola permainan dunia. Bayangkan bila kita yang lantas hanyut dalam gemerlap dunia. Sejauh apapun kita melangkah hakikatnya kita tidak kemana-mana kecuali sedang kembali kepada Allah. Andai niatan tidak lurus, rasanya sukar “menemui” Allah dalam keadaan terbaik (husnul khātimah).  

Jika Allah yang menjadi tujuan maka hidup ini bukan saja indah di mata tetapi juga elok di hati. Tetapi saat Allah dinomor-sekiankan, yang diutamakan adalah selain Allah, maka hidup hanya indah di mata tetapi laksana duri di hati. Sebab mata seringkali menipu dan tertipu, sementara hati nurani itu suci dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan kita. Oleh karena itu, untuk memuliakan hidup kita, meluruskan niat menjadi sangat penting. Tiada yang lain tujuan hidup kita kecuali Allah semata. 

Bila kondisi tersebut sudah terbangun maka kita menjadi mudah dan ringan untuk melakukan kebaikan. Sama halnya dengan tamsil di awal. Sang anak dan sang bapak rela bersakit-sakit untuk mendapatkan sesuatu yang diidam(-idam)kannya. Kita pun demikian, rela untuk “berlama-lama” bersama Allah, untuk meraih cinta-Nya. Mungkin banyak yang berpikir, kalau ibadahnya lama bukannya mengurangi produktivitas kerja? Saat orang lain bersantai-santai ria, kita memilih untuk beribadah, bukannya waktu rehat kita tersita?

Pertanyaan tersebut kalau dikaitkan dengan “motivasi” di atas akan terjawab. Kita rela lelah beribadah, ikhlas mengorbankan waktu bersama Allah, sebab dengan begitu kita menjadi dekat dan dicintai Allah. Sungguh, lelahnya ibadah akan hilang dan yang tersisa ialah balasan (keridhaan) Allah [inna masyaqqata ath-thā’ah tadzhab wa yabqa tsawābuhā]. Sebaliknya, kenikmatan berbuat maksiat (meninggalkan Allah) akan hilang dan yang tersisa ialah siksa plus adzab [wa ladzdzata al-ma’shiyyah tadzhab wa yabqa ‘iqābuhā].

Allah adalah motivasi hakiki dan tertinggi setiap umat muslim. Setiap capaian yang diperolehnya di dunia dimaknai sebagai tangga penting untuk menuju keridhaan Allah. Dunia tidak lagi menjadi impian satu-satunya tetapi akhirat-lah yang terus terbayang di depan mata. Itu dirasakan karena kerinduan yang sudah tidak tertahan untuk bertemu dengan Pemilik segalanya. Bila hal itu dapat tercapai maka dunia seolah sudah khatam, yang ada adalah bagaimana melengkapi persiapan untuk menghadap pada-Nya.

Setegap-tegapnya kita berdiri di dunia maka di sisi Allah kita tetaplah lemah tak berdaya. Kemuliaan dunia tidak selalu berbanding dengan kemuliaan akhirat. Karenanya kita mesti terus bertanya tentang hakikat kemuliaan yang kita dapatkan di dunia. Tidak selaiknya kemuliaan dunia menjadikan kita pongah dan menyombongkan diri, baik di hadapan manusia apalagi di hadapan Allah. Kemuliaan dunia harus diorientasikan sebagai pegangan untuk memperbanyak bekal kembali kepada Allah.

Dunia memang indah tetapi hanya di mata, belum tentu di hati. Sementara akhirat adalah keindahan sejati baik di mata maupun di hati. Di dunia selama 60-70 tahun tentu tidak ada apa-apanya dengan durasi kehidupan akhirat. Sebab, akhirat adalah jaminan kehidupan yang lebih baik, menjanjikan, dan lebih kekal. Untuk sampai ke akhirat harus diawali dengan mengecap ujian dunia. Jadi, kalau sudah berjuang di dunia maka tujuannya bukan lagi dunia tetapi kebahagiaan akhirat (as-sa’ādah fi al-ākhirah).

Ikhtitām: Bank Cadangan Akhirat
Saya berterima kasih kepada saudara saya yang pernah mengenalkan istilah “BCA” kepada saya. Dia bercerita banyak tentang kebaikan kepada saya, hingga akhirnya dia katakan: “Itulah BCA, Bank Cadangan Akhirat.” Benar sekali bahwa kebaikan untuk akhirat seringkali tidak langsung ada balasannya di dunia. Tapi itulah cadangan hakiki yang nantinya kita tuai di alam keabadiaan. Itulah deposito yang kita setorkan kepada Sang Khalik sebagai wujud kecintaan dan syukur kita kepada-Nya. 

Muslim yang berusaha memenuhi cadangan akhiratnya adalah pribadi yang berpandangan jauh ke depan. Saat orang lain berpikir kesejahteraan dunia, dia sudah melampaui itu semua. Dia bekerja lebih mulia, untuk kemuliaan yang tiada tandingnya. Dia tidak memikirkan apa yang dia dapat dalam waktu singkat, tapi dia bersabar untuk kedamaian akhirat. Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita menjadi muslim yang demikian? Berapa besar “kebaikan” yang ada di Bank Cadangan Akhirat kita?

Sejak pertama kali lahir, kita sudah dibekali Allah rekening Bank Cadangan Akhirat. Tinggal bagaimana kita mengisi dan memaksimalkan saldo yang ada didalamnya. Rasulullah, yang saldonya sudah tumpah-tumpah, masih terus bersujud di keheningan malam. Sementara kita? Berhubungan dengan Allah memang tidak harus dilakukan dalam format hitung-hitungan perbankan. Tapi seorang shahabat mengingatkan kita untuk selalu muhāsabah supaya tidak larut, tersesat, lantas tergelincir dalam kubangan kerugian. Wallāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Syari’ah FIAI