“Yang Mengajar (manusia) dengan perantara pena (qalam).
Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq [96]: 4-5)
Source: http://memecrunch.com/meme/85JD/masih-sekolah-minta-kuliah-udah-kuliah-minta-sekolah/image.png |
M
|
ulai hari Senin, 16 September 2013, kegiatan perkuliahan di universitas ini
secara resmi dimulai. Bagi mahasiswa lama, hari tersebut boleh jadi tidak
begitu berarti. Pasalnya, kuliah bagi mereka adalah hal biasa yang sudah pernah
dijalani. Sementara bagi mahasiswa yang baru, barangkali menjadi lain
ceritanya. Bagi mereka, hari itu adalah momen berharga yang secara formal belum
pernah dirasakan. Apa yang sebelumnya hanya mampu dibayangkan, hari itu
benar-benar menjadi kenyataan.
Ketika masa belajar di Aliyah (setingkat SMA)
sudah mulai berakhir, saya mencoba untuk bertanya tentang bagaimana kuliah itu.
Kepada para guru, saya alamatkan pertanyaan tersebut. Jawaban yang saya
dapatkan sontak membuat saya harap-harap cemas. “Benarkah kuliah itu
sedemikian mengerikan? Ketika tidak lulus satu mata kuliah, saya harus
mengulangnya bersama adik tingkat? Bukankah karenanya saya menanggung malu?”
tanya saya kala itu dalam kalbu.
Mulai saat itu saya beranggapan bahwa ada “gap” yang luar
biasa lebar antara sekolah dan kuliah. Bahwa ketika masuk kuliah, saya harus
menyesuaikan diri sedemikian rupa. Beribu anggapan saya hanya mampu mengendap
dalam dada. Sebab, cerita orang lain kemungkinan besar berbeda dengan akan saya
rasakan nanti. Hingga pada akhirnya, saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk
berkuliah di sini, di Universitas Islam Indonesia (UII). Satu persatu, kegelisahan
saya mulai terjawab.
Sama-sama Belajar
Di awal masa
perkuliahan, kalau boleh jujur, saya masih bertanya kepada diri saya sendiri. “Benarkah
saya sudah berada di lingkungan perkuliahan?” tanya saya, tanpa suara. Setelah
berjalan kurang lebih satu semester, saya semakin yakin bahwa saya memang kuliah.
Tidak lagi berada di sekolah, dengan waktu belajar yang “monoton”, dan terus
berulang setiap minggunya. Kuliah, jika dibandingkan dengan sekolah,
menghadirkan suasana yang berbeda. Pakaian yang dikenakan adalah salah satunya.
Ketika di sekolah,
semua siswa mengenakan pakaian yang sama (seragam). Dahulu, guru saya pernah
menjelaskan. Tujuan dari penyeragaman itu adalah supaya tidak timbul ketimpangan
antara yang kaya dan yang tidak berada. Seandainya pakaiannya bebas maka niscaya
berbeda-beda-lah merek pakaian yang dikenakan tersebut. Perbedaan merek menjadi
sebab perbedaan harga, yang seringkali “intervalnya” sangat jauh. Begitulah
kira-kira, dahulu guru saya menuturkan.
Berbeda sekolah,
berbeda pula kuliah. Di bangku kuliah, mahasiswa boleh mengenakan pakaian jenis
apapun. Dengan catatan: sopan dan sesuai dengan standar etika yang ditetapkan
oleh kampus. Selebihnya, dahulu di sekolah guru akan marah besar pada teman
kita yang berambut panjang. Hal itu tidak terjadi di bangku perkuliahan. Dosen
(gurunya mahasiswa) tidak akan banyak memberikan komentar masalah rambut.
Seandainya tidak rapi, mungkin hanya disindir secara halus.
Selain hal yang disebutkan
di atas, perbedaan tidak prinsipil antara sekolah dan kuliah tentu saja masih
ada. Beranjak dari perbedaan tersebut, yang sama antara keduanya adalah:
“sama-sama belajar”. Sekolah tempat belajar (menimba ilmu), kuliah pun
demikian: tempat belajar dan memperdalam ilmu. Intinya adalah belajar, yang
tentu saja di bangku kuliah akan disesuaikan dengan jurusan masing-masing.
Meskipun dikhususkan berdasarkan jurusan, masih ada mata kuliah umum—khususnya
di UII—yang didapatkan oleh semua jurusan.
Belajar “Tanpa Batas”
Guru public
speaking saya pernah mengatakan bahwa yang lebih menentukan keberhasilan
seseorang adalah “universitas kehidupan”. Beliau tidak menampik urgensi
“universitas formal”. Sebab, dahulu beliau pernah mengenyam “universitas formal”
hingga menjadi guru/dosen. Tetapi sebenarnya, menurutnya, apa yang didapat di
ruang kuliah hanyalah sedikit. Mahasiswa diminta untuk menggali lebih jauh
keilmuannya di luar ruang kuliah. Bisa dengan mendatangi dosen di ruangannya,
mengikuti seminar, dan seterusnya.
Universitas kehidupan
adalah perguruan tinggi tanpa sekat ruang dan waktu yang ada di semesta ini. Universitas
yang satu ini boleh diakses oleh siapapun dan kapanpun. Dan seringkali
universitas tersebut tidak membutuhkan banyak biaya sebagaimana “universitas
formal”. Jika ruang kelas/kuliah menyiapkan mahasiswa untuk (sekadar) menjawab
soal ujian maka universitas kehidupan menjadikan “mahasiswanya” siap untuk
menjawab ujian kehidupan. Di universitas kehidupan, mahasiswa dididik menjadi
pribadi yang sebenarnya.
Apa yang dipaparkan di
atas—sekali lagi—tidak dimaksudkan untuk “merendahkan” universitas secara
formal. Sebab, bagaimanapun juga belajar “di dalam kelas” juga penting dan
menjadi pemantik serta stimulus untuk menggali ilmu lebih (men)dalam “di luar
kelas”. Tetapi ketika ilmu hanya berhenti di dalam kelas maka dia cukup menjadi
teori yang tidak memiliki banyak makna dan arti. Di titik itulah, universitas
kehidupan menjadi lahan untuk mengapresiasi ilmu yang didapat di dalam
ruang(an) kelas.
Gelar tertinggi
“universitas formal” adalah doktor (sukses akademik jenjang S3). Sementara
gelar untuk universitas kehidupan secara formal—memang—tidak ada. Tetapi secara
keilmuan (kompetensi), boleh jadi universitas kehidupan memberikan yang lebih.
Itulah mengapa banyak kita temui mereka yang tidak kuliah tetapi keilmuan dan
keahliannya melebihi mereka yang kuliah. Banyak orang yang dahulu tidak sempat
mengenyam bangku sekolah tetapi pengalamannya jauh melampaui mereka yang
bersekolah.
Seperti falsafah orang Padang: “Alam takambang jadi
guru.” Alam yang kita tempati sebenarnya adalah sarana untuk mendapatkan
ilmu dan pengetahuan. Menjadikan setiap tempat sebagai madrasah dan setiap
orang sebagai guru adalah ciri orang yang peduli dengan ilmu. “Ambil-lah
hikmah walaupun keluar dari mulut binatang (sekalipun),” kata pepatah Arab.
Kalau begitu, tidak ada yang tidak dapat dijadikan sarana pembelajaran. Itulah
kalau konsep “universitas kehidupan” hadir dalam mindset kita.
Baharuddin “Qaryah Thayyibah”, seorang penggagas dan
pengelola sekolah alam pernah berujar: “Boleh putus sekolah tetapi
tidak boleh putus belajar.” Statemen tersebut kalau dibawa ke dalam logika
perkuliahan tentu akan menarik. Tidak semua orang berkesempatan kuliah. Maka
mereka yang tidak kuliah tetap tidak boleh putus belajarnya. Sementara kita
yang beruntung, diberi kesempatan untuk kuliah, selaiknya bisa lebih dari
mereka terus belajar tetapi tidak kuliah tersebut.
Kuliah sendiri, kalau boleh disimpulkan, adalah
keberlanjutan dari belajar kita di sekolah. Ada keterkaitan dan ketersambungan
antara keduanya. Dahulu, di zaman orang tua kita masih muda, lulus SMA
barangkali adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Sementara sekarang,
kondisinya sudah jauh berbeda. Sarjana adalah hal yang biasa. Master/magister
(lulusan S-2) rasanya juga masih biasa. Benar bahwa belajar bukan semata untuk
mencari gelar. Tetapi ketika gelar itu memang disertai dengan kapasistas
keilmuan, mengapa tidak?
Saat ini, akses untuk kuliah terbuka lebar. Tergantung
bagaimana “kita”, yang menjalaninya. Biaya memang seringkali menjadi sandungan.
Tetapi kalau keinginan itu kuat, doanya mantap, maka bagi Allah tidak ada yang
tidak “dijawab”. Beasiswa juga dapat diperoleh dengan bermacam arah dan pintu. Tinggal
bagaimana kita memaksimalkan kesempatan emas itu. Sungguh tidak patut kalau
yang “istimewa” itu hanya berlalu begitu saja di depan mata.
Kalau konsep tersebut sudah dipegang kuat-kuat maka yang
perlu diperhatikan adalah (masalah) niat. Niat—bahkan—memegang peranan yang
sangat urgen dalam segala hal. Berdasarkan hadits yang sangat masyhur, “Segala
sesuatu itu tergantung niatnya.” Kalau niatan keduniaan yang mendominasi, seandainya
nantinya sukses, maka sebatas kebahagiaan dunia yang didapat. Tetapi kalau
niatnya lebih mulia dari itu, ridha Allah tujuannya, maka kebahagiannya ganda:
duniawi dan ukhrawi.
Oleh karena itulah,
mari merenung dan berefleksi. Apa sebenarnya yang ingin kita capai dari “proses
belajar” yang—berdasarkan hadits Nabi—tidak boleh berhenti sampai ajal datang
menghampiri. Logika belajar semestinya dipersepsikan layaknya seorang yang meneguk
air lautan. Semakin banyak yang diminum justru rasa haus yang semakin
dirasakan. Ilmu, semakin banyak dicari, semakin banyak yang tidak dimengerti. Semakin
banyak dikumpulkan semakin membuat kita penasaran.
“Membuktikan” Janji Allah
Sebagai penutupnya,
Allah memang sudah berjanji mengajarkan ilmu kepada manusia. Kepada Nabi Idris
AS, Allah mengajarkan ilmu (menulis) dengan perantara pena (qalam).
Secara lebih luas dan universal, Allah mengajari manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya. Awalnya manusia tersesat, Allah berikan kepadanya hidayah.
Mulanya manusia tidak mampu menulis dan membaca, Allah ajarkan ilmunya.
Sebelumnya manusia tidak mampu berkreasi, Allah juga yang mengajarkan caranya.
Jika Allah sudah
berjanji, apakah kita hanya menunggu tanpa pernah mencari? Tentu tidak. Apa
yang kita tempuh, dimulai dari bangku sekolah sampai kuliah dan seterusnya,
adalah bagian dari usaha untuk “membuktikan” kebenaran janji Allah ta’āla.
Kita adalah makhluk paling mulia yang dibekali akal dan kemampuan usaha. Ilmu
Allah tidak akan turun begitu saja. Kitalah yang menjemputnya, dengan jerih
payah, dan tidak mengenal lelah. Semoga sekolah dan kuliah kita bermanfaat serta
berkah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Kafā Billāhi
Syahīda,
Mahasiswa
Jurusan Syarī’ah