Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Jumat, 18 Oktober 2013

ANTARA SEKOLAH DAN KULIAH


“Yang Mengajar (manusia) dengan perantara pena (qalam). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq [96]: 4-5)


Sourcehttp://memecrunch.com/meme/85JD/masih-sekolah-minta-kuliah-udah-kuliah-minta-sekolah/image.png

M
ulai hari Senin, 16 September 2013, kegiatan perkuliahan di universitas ini secara resmi dimulai. Bagi mahasiswa lama, hari tersebut boleh jadi tidak begitu berarti. Pasalnya, kuliah bagi mereka adalah hal biasa yang sudah pernah dijalani. Sementara bagi mahasiswa yang baru, barangkali menjadi lain ceritanya. Bagi mereka, hari itu adalah momen berharga yang secara formal belum pernah dirasakan. Apa yang sebelumnya hanya mampu dibayangkan, hari itu benar-benar menjadi kenyataan.
Ketika masa belajar di Aliyah (setingkat SMA) sudah mulai berakhir, saya mencoba untuk bertanya tentang bagaimana kuliah itu. Kepada para guru, saya alamatkan pertanyaan tersebut. Jawaban yang saya dapatkan sontak membuat saya harap-harap cemas. “Benarkah kuliah itu sedemikian mengerikan? Ketika tidak lulus satu mata kuliah, saya harus mengulangnya bersama adik tingkat? Bukankah karenanya saya menanggung malu?” tanya saya kala itu dalam kalbu.
Mulai saat itu saya beranggapan bahwa ada “gap” yang luar biasa lebar antara sekolah dan kuliah. Bahwa ketika masuk kuliah, saya harus menyesuaikan diri sedemikian rupa. Beribu anggapan saya hanya mampu mengendap dalam dada. Sebab, cerita orang lain kemungkinan besar berbeda dengan akan saya rasakan nanti. Hingga pada akhirnya, saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk berkuliah di sini, di Universitas Islam Indonesia (UII). Satu persatu, kegelisahan saya mulai terjawab.
Sama-sama Belajar
                Di awal masa perkuliahan, kalau boleh jujur, saya masih bertanya kepada diri saya sendiri. “Benarkah saya sudah berada di lingkungan perkuliahan?” tanya saya, tanpa suara. Setelah berjalan kurang lebih satu semester, saya semakin yakin bahwa saya memang kuliah. Tidak lagi berada di sekolah, dengan waktu belajar yang “monoton”, dan terus berulang setiap minggunya. Kuliah, jika dibandingkan dengan sekolah, menghadirkan suasana yang berbeda. Pakaian yang dikenakan adalah salah satunya.
                Ketika di sekolah, semua siswa mengenakan pakaian yang sama (seragam). Dahulu, guru saya pernah menjelaskan. Tujuan dari penyeragaman itu adalah supaya tidak timbul ketimpangan antara yang kaya dan yang tidak berada. Seandainya pakaiannya bebas maka niscaya berbeda-beda-lah merek pakaian yang dikenakan tersebut. Perbedaan merek menjadi sebab perbedaan harga, yang seringkali “intervalnya” sangat jauh. Begitulah kira-kira, dahulu guru saya menuturkan.
                Berbeda sekolah, berbeda pula kuliah. Di bangku kuliah, mahasiswa boleh mengenakan pakaian jenis apapun. Dengan catatan: sopan dan sesuai dengan standar etika yang ditetapkan oleh kampus. Selebihnya, dahulu di sekolah guru akan marah besar pada teman kita yang berambut panjang. Hal itu tidak terjadi di bangku perkuliahan. Dosen (gurunya mahasiswa) tidak akan banyak memberikan komentar masalah rambut. Seandainya tidak rapi, mungkin hanya disindir secara halus.
                Selain hal yang disebutkan di atas, perbedaan tidak prinsipil antara sekolah dan kuliah tentu saja masih ada. Beranjak dari perbedaan tersebut, yang sama antara keduanya adalah: “sama-sama belajar”. Sekolah tempat belajar (menimba ilmu), kuliah pun demikian: tempat belajar dan memperdalam ilmu. Intinya adalah belajar, yang tentu saja di bangku kuliah akan disesuaikan dengan jurusan masing-masing. Meskipun dikhususkan berdasarkan jurusan, masih ada mata kuliah umum—khususnya di UII—yang didapatkan oleh semua jurusan.
Belajar “Tanpa Batas”
                Guru public speaking saya pernah mengatakan bahwa yang lebih menentukan keberhasilan seseorang adalah “universitas kehidupan”. Beliau tidak menampik urgensi “universitas formal”. Sebab, dahulu beliau pernah mengenyam “universitas formal” hingga menjadi guru/dosen. Tetapi sebenarnya, menurutnya, apa yang didapat di ruang kuliah hanyalah sedikit. Mahasiswa diminta untuk menggali lebih jauh keilmuannya di luar ruang kuliah. Bisa dengan mendatangi dosen di ruangannya, mengikuti seminar, dan seterusnya.
                Universitas kehidupan adalah perguruan tinggi tanpa sekat ruang dan waktu yang ada di semesta ini. Universitas yang satu ini boleh diakses oleh siapapun dan kapanpun. Dan seringkali universitas tersebut tidak membutuhkan banyak biaya sebagaimana “universitas formal”. Jika ruang kelas/kuliah menyiapkan mahasiswa untuk (sekadar) menjawab soal ujian maka universitas kehidupan menjadikan “mahasiswanya” siap untuk menjawab ujian kehidupan. Di universitas kehidupan, mahasiswa dididik menjadi pribadi yang sebenarnya.
                Apa yang dipaparkan di atas—sekali lagi—tidak dimaksudkan untuk “merendahkan” universitas secara formal. Sebab, bagaimanapun juga belajar “di dalam kelas” juga penting dan menjadi pemantik serta stimulus untuk menggali ilmu lebih (men)dalam “di luar kelas”. Tetapi ketika ilmu hanya berhenti di dalam kelas maka dia cukup menjadi teori yang tidak memiliki banyak makna dan arti. Di titik itulah, universitas kehidupan menjadi lahan untuk mengapresiasi ilmu yang didapat di dalam ruang(an) kelas.
                Gelar tertinggi “universitas formal” adalah doktor (sukses akademik jenjang S3). Sementara gelar untuk universitas kehidupan secara formal—memang—tidak ada. Tetapi secara keilmuan (kompetensi), boleh jadi universitas kehidupan memberikan yang lebih. Itulah mengapa banyak kita temui mereka yang tidak kuliah tetapi keilmuan dan keahliannya melebihi mereka yang kuliah. Banyak orang yang dahulu tidak sempat mengenyam bangku sekolah tetapi pengalamannya jauh melampaui mereka yang bersekolah.
Seperti falsafah orang Padang: “Alam takambang jadi guru.” Alam yang kita tempati sebenarnya adalah sarana untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Menjadikan setiap tempat sebagai madrasah dan setiap orang sebagai guru adalah ciri orang yang peduli dengan ilmu. “Ambil-lah hikmah walaupun keluar dari mulut binatang (sekalipun),” kata pepatah Arab. Kalau begitu, tidak ada yang tidak dapat dijadikan sarana pembelajaran. Itulah kalau konsep “universitas kehidupan” hadir dalam mindset kita.
Baharuddin “Qaryah Thayyibah”, seorang penggagas dan pengelola sekolah alam pernah berujar: “Boleh putus sekolah tetapi tidak boleh putus belajar.” Statemen tersebut kalau dibawa ke dalam logika perkuliahan tentu akan menarik. Tidak semua orang berkesempatan kuliah. Maka mereka yang tidak kuliah tetap tidak boleh putus belajarnya. Sementara kita yang beruntung, diberi kesempatan untuk kuliah, selaiknya bisa lebih dari mereka terus belajar tetapi tidak kuliah tersebut.
Kuliah sendiri, kalau boleh disimpulkan, adalah keberlanjutan dari belajar kita di sekolah. Ada keterkaitan dan ketersambungan antara keduanya. Dahulu, di zaman orang tua kita masih muda, lulus SMA barangkali adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Sementara sekarang, kondisinya sudah jauh berbeda. Sarjana adalah hal yang biasa. Master/magister (lulusan S-2) rasanya juga masih biasa. Benar bahwa belajar bukan semata untuk mencari gelar. Tetapi ketika gelar itu memang disertai dengan kapasistas keilmuan, mengapa tidak?
Saat ini, akses untuk kuliah terbuka lebar. Tergantung bagaimana “kita”, yang menjalaninya. Biaya memang seringkali menjadi sandungan. Tetapi kalau keinginan itu kuat, doanya mantap, maka bagi Allah tidak ada yang tidak “dijawab”. Beasiswa juga dapat diperoleh dengan bermacam arah dan pintu. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan kesempatan emas itu. Sungguh tidak patut kalau yang “istimewa” itu hanya berlalu begitu saja di depan mata.
Kalau konsep tersebut sudah dipegang kuat-kuat maka yang perlu diperhatikan adalah (masalah) niat. Niat­—bahkan—memegang peranan yang sangat urgen dalam segala hal. Berdasarkan hadits yang sangat masyhur, “Segala sesuatu itu tergantung niatnya.” Kalau niatan keduniaan yang mendominasi, seandainya nantinya sukses, maka sebatas kebahagiaan dunia yang didapat. Tetapi kalau niatnya lebih mulia dari itu, ridha Allah tujuannya, maka kebahagiannya ganda: duniawi dan ukhrawi.
                Oleh karena itulah, mari merenung dan berefleksi. Apa sebenarnya yang ingin kita capai dari “proses belajar” yang—berdasarkan hadits Nabi—tidak boleh berhenti sampai ajal datang menghampiri. Logika belajar semestinya dipersepsikan layaknya seorang yang meneguk air lautan. Semakin banyak yang diminum justru rasa haus yang semakin dirasakan. Ilmu, semakin banyak dicari, semakin banyak yang tidak dimengerti. Semakin banyak dikumpulkan semakin membuat kita penasaran.
“Membuktikan” Janji Allah
                Sebagai penutupnya, Allah memang sudah berjanji mengajarkan ilmu kepada manusia. Kepada Nabi Idris AS, Allah mengajarkan ilmu (menulis) dengan perantara pena (qalam). Secara lebih luas dan universal, Allah mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Awalnya manusia tersesat, Allah berikan kepadanya hidayah. Mulanya manusia tidak mampu menulis dan membaca, Allah ajarkan ilmunya. Sebelumnya manusia tidak mampu berkreasi, Allah juga yang mengajarkan caranya.
                Jika Allah sudah berjanji, apakah kita hanya menunggu tanpa pernah mencari? Tentu tidak. Apa yang kita tempuh, dimulai dari bangku sekolah sampai kuliah dan seterusnya, adalah bagian dari usaha untuk “membuktikan” kebenaran janji Allah ta’āla. Kita adalah makhluk paling mulia yang dibekali akal dan kemampuan usaha. Ilmu Allah tidak akan turun begitu saja. Kitalah yang menjemputnya, dengan jerih payah, dan tidak mengenal lelah. Semoga sekolah dan kuliah kita bermanfaat serta berkah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
               
Kafā Billāhi Syahīda,

Mahasiswa Jurusan Syarī’ah