Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Sabtu, 20 Juli 2013

AL-HARAKAH BARAKAH

Oleh: Samsul Zakaria, Santri Ponpes UII


إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ # إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبْ

Sesungguhnya aku melihat genangan air yang diam itu merusak dirinya sendiri. Jika air itu mengalir maka ia menjadi jernih namun ketika berhenti mengalir maka hilanglah kejernihannya.” (al-Imām asy-Syāfi’i)

 
Kapal laut dan pesawat terbang sama-sama terbuat dari besi. Keduanya membuat orang awam –termasuk saya­– merasa kagum. Kapal laut yang terbuat dari besi, dengan lautan manusia didalamnya, ditambah beban berwujud ratusan mobil dan sepeda motor, mampu terapung dengan baik di atas air. Pesawat terbang yang juga terbuat dari besi, beratnya tentu sampai berton-ton, jauh lebih dahsyat. Dengan banyak penumpang dan beban bagasi, mampu terbang-melayang di udara bebas sana. 

Untuk kapal laut, secara sederhana saya bisa menjelaskannya. Sesuai dengan yang pernah saya pelajari di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dulu. “Setiap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sebanding dengan masa jenis benda itu,” bunyi hukumnya. Kapal laut (dengan) berdasarkan logika ilmiah itu, sangat logis bisa terapung di lautan yang sangat luas. Sementara untuk pesawat, beberapa kali saya membaca tulisan tentangnya, tetap belum puas dan mampu melogikakannya.


Terlepas bagaimana sebenarnya logika-mekanis dua alat transportasi temuan manusia tersebut, keduanya tidak lepas dari campur tangan Ilahi. Bahwa manusia dengan bimbingan Allah selalu belajar dari alam sekitar, dari kehidupan, dari laju-gerak semesta, untuk menciptakan wasilah yang mempermudah hidupnya. Konon, helikopter itu munculnya terinspirasi dari capung. Lahirnya kapal selam, boleh jadi, bermula dari pembacaan manusia terhadap gerak-lincah ikan di sungai dan lautan.

Kapal laut dan pesawat terbang boleh dikatakan sebagai temuan besar kehidupan. Keduanya ada melalui proses penemuan, proses perancangan, dan proses penyempurnaan yang –saya yakin– panjang. Andaikata keduanya ditemukan pada percobaan yang ke-1000 (seribu), apa jadinya jika yang mengusahakannya berhenti pada percobaan yang ke-999? Kapal laut dan pesawat terbang hanya menjadi angan-angan belaka, dan tidak nyata dalam semesta.

Berbicara tentang keduanya, akan menarik ketika ditilik dari perbedaan “harga”. Contoh, untuk pergi ke Malaysia kita bisa memilih untuk menggunakan kapal laut atau pesawat terbang. Tetapi pilihan tersebut tentu berkaitan dengan harga tadi, ketersediaan uang si empunya. Sudah ma’lūm bahwa tiket pesawat terbang lebih mahal dibanding kapal laut. Mengapa? Sebab –salah satunya­–, pesawat terbang mampu menghantarkan penumpang jauh lebih cepat dibanding apa yang dilakukan kapal laut.

Hal ini dapat dibaca bahwa sesuatu yang berasal dari komposisi yang sama (besi, dalam hal ini) menjadi berbeda nilai atau harganya karena kecepatan geraknya. Mana yang lebih cepat maka dia yang menjadi lebih berharga. Sama halnya dengan kuda pacuan. Dengan postur yang sama, warna, dan berat yang sama pula, tetap berbeda harganya jika salah satunya memiliki kecepatan lari yang lebih. Sebab, kuda yang larinya cepat tentu sudah melalui proses latihan dan makanannya pun tidak main-main.

Begitulah kapal laut dan pesawat terbang serta kuda mengajari manusia. Bahwa dalam hidup ini manusia harus berpacu untuk bergerak dalam kebaikan demi finish secara mulia di sisi Tuhannya. Siapa yang ingin bergerak cepat maka dia harus berlatih lebih giat. Bagi yang ingin melampaui yang lain maka dia harus melakukan percepatan (seolah “terbang”) sebagaimana yang tidak dilakukan yang lain. Dan pergerakan itu memang harus dilakukan secara berkesinambungan. Ringkasnya, berhenti berarti mati.

Saya pribadi sering membuat analogi. Motor apapun itu, kecuali motor matic, saat pertama kali akan melaju harus pakai “gigi” (gear) satu. Baru setelah berjalan normal, gear mulai ditambah, sampai maksimal. Mengapa harus pakai “satu” untuk kali pertama? Sebab, memulai itu berat. Dan ketika sudah berjalan menjadi ringan. Dengan gear empat sekalipun, gerak motor lancar dan cepat. Ketika kita terkena lampu merah maka kita berhenti, dan menurunkan posisi gear.

Di saat akan berjalan kembali, kita harus mulai dari satu lagi. Itu pertanda bahwa ketika kita sudah berjalan dan karena suatu hal berhenti, saat ingin “berlari” kembali beratnya luar biasa. Dalam konteks motor, harus dimulai dengan gear satu tadi. Ditarik dalam konstelasi kehidupan kita, karena berat tadi terkadang kita menjadi malas dan enggan untuk memulainya kembali. So, kalau kita memang sudah bergerak maka supaya terlepas dari rasa malas mari mempertahankan “pergerakan” itu. 

Banyak orang yang senang ketika memiliki waktu luang yang panjang. Dengan waktu yang luang tersebut, mereka bisa berleha-leha atau bahkan bermalas-malasan. Tetapi kalau dikembalikan ke dalam nurani kita, berdasarkan pengalaman saya pribadi, sebenarnya kita lebih puas ketika sedang banyak pekerjaan. Dengan catatan kita dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Hal itu karena hidup memang menuntut kedinamisan. Termasuk tubuh kita yang lebih sehat ketika terus bergerak, beraktivitas.

Saya bersyukur pernah belajar pada seorang guru yang memang patut untuk ditiru. Beliau yang sangat serius dan sungguh-sungguh dalam mengajar itu, sangat ringan tangan untuk membantu tugas istrinya. Beliau yang saya tahu berat dan banyak tugas mengajarnya itu sering membantu istrinya untuk –sekadar– mencuci baju. Itu yang sering saya dan teman-teman saya lihat. Bagi beliau, apa yang dilakukannya adalah bentuk kasih-sayang pada istrinya. Sungguh, luar biasa prinsip hidup beliau.

Di kesempatan yang lain, beliau sering memberikan nasihat kepada saya dan teman-teman. Nasihat itu menekankan pentingnya pergerakan (moving) dalam hidup. Dengan bergerak kita akan mendapatkan apa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Meminjam bahasa Al-Quran, dengan bergerak (bertakwa) kita akan mendapatkan apa yang tidak pernah kita sangka (min haitsu lā yahtasibu). Dan sekali lagi pergerakan itu harus terus-menerus, tidak mengenal kata henti.

Al-harākatu barākat-un,” tutur guru saya tadi, yang biasa kami panggil Ust. Wahid. Maksudnya adalah bahwa dengan bergerak (harākah) kita akan mendapatkan keberkahan hidup (barākah). Orang yang menginginkan rezeki tetapi tidak mau bekerja tentu apa yang diimpikannya sekadar hadir di alam mimpi. Seorang siswa yang ingin menjadi juara kelas tentu harus “banyak bergerak”, belajar dengan ulet dan telaten. Sebab, ilmu itu kadang seperti misteri, harus terus dicari dan dihikmati.

Berawal dari nasihat singkat guru saya tadi, seorang senior pernah berujar kepada saya. Bagaimana kalau jargon “al-harākah barākah” itu dijadikan ide besar untuk penulisan sebuah novel. Boleh jadi nanti novel tersebut menjadi “saingan” novelnya Ahmad Fuadi dengan jargon “man jadda wajada”-nya itu. Sebuah ide yang menarik, pikir saya. Walaupun saya belum dibimbing oleh Allah untuk menulis novel yang dimaksud paling tidak saya sudah memulainya dengan menuliskannya di buletin ini.

Saya sadar sebagainya yang disadari senior saya betapa berharganya apa yang disampaikan guru kami itu. Saya telah banyak membuktikannya. Dengan melangkahkan kaki maka kita akan mendapatkan berkah yang tak terkira. Sebagaimana yang sering disampaikan bahwa Rasulullah sendiri lebih menyukai muslim yang kuat dibanding yang lemah. Muslim yang kuat adalah yang gesit langkah dan geraknya, jauh jangkuan hidupnya, besar pengaruhnya, karena terus berproses dan tidak pernah merasa puas.

Melengkapi tulisan ini, apa yang dipesankan Imam Syafi’i –sebagaimana tertulis di muka tulisan ini– tentu sangat berkesan untuk direnungkan. Air yang diam selain akan “merusak” dirinya sendiri juga tidak banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. Air itu kurang sedap dipandang karena “kediamannya”. Hikmah yang selalu dituturkan adalah “mengalir seperti air”. Dimana air dipersepsikan sebagai simbol pergerakan yang ideal. Jadi, marilah menjadi “air kehidupan” yang terus mengalir, bergerak.

Sebagai penutup, saya merasa berhutang budi pada almarhūmah nenek saya. Nenek saya itu di usianya yang sudah tidak lagi muda masih rajin pergi ke kebun, dan lebih senang tinggal di rumahnya sendiri dibanding tinggal bersama anaknya. Katanya, beliau tidak nyaman kalau menganggur. Beliau yang sangat menyayangi saya itu justru sangat gemar beraktivitas. Itulah kisah nenek saya yang juga mengajari saya dan saudara pembaca bahwa hidup mesti dinamis agar terasa lebih manis. Wallāhu a’lamu. []