Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Kamis, 20 Juni 2013

KAILA DAN CINCINKU

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
“Boleh dunk tahu nama adik siapa?” tanyaku pada gadis kecil itu.

“Kaila,” jawabnya singkat. Nama yang indah, batinku.

***

Malam itu, adzan Isya’ sudah mulai berkumandang dari masjid sekitar. Aku yang sejak shalat Maghrib masih menetap di mushalla turut-serta mengumandangkan adzan. Sebelumnya, datang seorang bapak dan ibu disertai putrinya yang masih belia. “Maaf, Mas. Kami numpang shalat,” ucapnya padaku. “Silakan, Pak! Monggo!” jawabku, seraya langsung mengambil posisi untuk mengumandangkan adzan.

Inilah yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, rasanya aku tidak pernah mendengar sahut-sahutan adzan. Sebab, jarak antar masjid di Malaysia sangat jauh. Di sana, yang banyak itu surau (mushalla). Dan pengeras suara surau tentu tidak sekeras masjid. Sementara di Indonesia, masjid bertebaran di mana-mana. Saat waktu shalat tiba, seolah ada lomba adzan antar masjid.

***
   
Adzan sudah aku kumandangkan. Selepas itu, aku berniat untuk menunaikan shalat rawatib, qabliyah Isya’. Tetapi aku mengurungkannya. Aku lebih tertarik untuk bercakap-cakap dengan gadis kecil yang ada di mushalla itu. Aku mencoba mendekatinya. Aku perhatikan, dia juga “tertarik” padaku. Diapun tidak menolak saat aku berusaha untuk menggendongnya. Dia mengenalkan diri dengan nama “Kaila”.

Kaila yang aku taksir berumur 3 tahun itu sudah nyerocos omongannya. Dengan ucapan yang tidak begitu jelas, aku mengerti apa yang dia maksudkan. “Rumahku dekat dari cini. Aku mau beli batu...,” katanya. Batu? Hem, ternyata maksudnya adalah “baju”. Namun karena dia masih belum fasih, sehingga masih keliru sebut. Kaila walaupun tidak menolak, nampak tidak nyaman di gendonganku.

***

Aku menurunkannya dari gendonganku. Aku membersamainya di atas hamparan lantai mushalla itu. Aku tunjukkan pula padanya cincin yang melingkar di jari manisku. Aku melepaskan cincin itu dan memutar-mutarkannya di atas lantai. Kaila nampak senang dan ingin mengambil cincin itu. Aku berusaha merebutnya. Aku katakan kalau cincin itu terlalu besar untuk jari Kaila yang kecil dan mungil. Kaila seolah tidak puas.

Aku masukkan cincin itu ke jari-jari kaila. Dari kelingking sampai jari telunjuknya. Benar saja cincin itu dapat masuk dan keluar dengan sangat mudah. Kaila pun mengerti kalau cincinku memang tidak pas untuk dikenakannya. “Kaila mau beli cincin?” tanyaku. “Iya, iya, iya. Di sana...,” jawabnya, sembari menunjuk toko yang ada di depan mushalla itu. Setelah itu, aku mencoba untuk menimang-nimang Kaila kembali.

Tak lama kemudian, datang seorang santri. “Siapa itu, Mas?” tanyanya penasaran. “Saudaraku.” “Kandung?” “Bukan,” jawabku. Ini adalah trik lama. Maksudku saudara itu adalah saudara sesama muslim. Sebab, setiap muslim hakikatnya adalah saudara. Dan santri tadi nampak percaya dengan apa yang saya katakan. Barangkali dia sudah membatin bahwa maksud saya hanyalah saudara sesama muslim tadi. 

***

Orang tua Kaila selesai menunaikan shalatnya. Mereka memang sengaja shalat sendiri (berdua). Tidak menunggu waktu berjamaah bersamaku dan teman-teman santri lainnya. Mereka terlihat gembira tahu kalau Kaila dekat denganku. “Wah, kecil-kecil sudah cas cis cus ngomongnya, Pak...,” komentarku. “Iya, Dik. Tapi masih salah-salah,” tuturnya, menimpali. Bapak dan ibu itu bersama Kaila kemudian meninggalkan mushalla pesantrenku.

Kaila sudah pergi, dan aku tidak tahu dimana sebenarnya rumahnya. Cincinku kembali aku sematkan pada jari manisku. Asal Kaila tahu bahwa cincin itu sangat berharga buatku. Meskipun berharga, saat ini cincinku tidak ada kaitannya dengan perempuan manapun. Terima kasih Kaila, telah menghiburku, sedikit mengobati rinduku pada adik perempuanku. Doakan aku, supaya lekas mendapat SIM C: Surat Izin Memakaikan Cincin. Āmīn. []

_______________________
Picture: http3.bp.blogspot.com-4apbj4sg2-8UGA-6nM4fWIAAAAAAAADSo2LIDNkDBeQAs1600cincin.jpg
 

Kamis, 13 Juni 2013

SAYONARA MALAYSIA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Sebuah perjumpaan itu terkadang hadir ibarat perjodohan. Kita tidak dapat menerkanya secara pasti sehingga hanya diketahui oleh Tuhan. Ketika Dia mempertemukan kita dengan seseorang maka berlanjutlah kisah kehidupan. Pasti banyak kenangan, baik manis atau pahit, kurang berkesan atau sangat berkesan. Pastinya tidak ada yang sia-sia dalam kamus kemahabesaran Tuhan.

Salah satu kemurahan Tuhan yang diberikan kepada saya pribadi adalah kesempatan untuk berkunjung ke Malaysia. Tentu ini adalah kenikmatan yang luar biasa. Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Menara Petronas –Kuala Lumpur– walaupun saya dahulu hanya dilahirkan di desa. Rasanya tak perlu banyak basa-basi karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selama di Malaysia itulah saya banyak tahu tentang self service dan self cleaning. Di Indonesia, kalau mengisi bensin cukup simpel. Buka tutup tanki, petugas mengisi sesuai dengan permintaan, lalu bayar. Di Malaysia berbeda. Kita harus membayar terlebih dahulu di kasir. Dan tempat pengisian tidak ada yang menjaga, tidak ada petugasnya. Setelah membayar kitalah yang mengisikan bensin itu. Itulah contoh self service.

Untuk self cleaning, paling sering saya jumpai saat saya sedang makan di kantin kampus. Selesai makan, mereka terbiasa mengumpulkan piring, gelas, dan sendok yang kotor di satu tempat khusus. Dengan begitu akan memudahkan orang yang bertugas mencucinya. Hikmah lainnya, dengan model self cleaning tersebut meja makan selalu tampak bersih. Di Indonesia, saya pribadi belum menjumpainya.

Semua kenangan yang saya dapatkan di Malaysia terekam rapi dalam ingatan. Tentu tidak semuanya positif. Ada juga negatifnya yang dengan pertimbangan kemaslahatan tidak saya ceritakan di tulisan ini. Pastinya, kenangan tersebut akan menjadi cerita yang menarik untuk disajikan kepada siapapun juga. Termasuk ketika saya sudah berkeluarga. Cerita untuk istri, anak, dan cucu, katanya.

Saat ini saya sudah berada di Indonesia, kembali merajut asa di negeri kelahiran saya. Dan tentu saya akan berbagi seputar kenangan dan pengalaman selama di negeri jiran. Dan tak lupa saya pun berdoa agar teman-teman saya Allah berikan kesempatan untuk lawatan ke sana. Dan hal itu –tentunya– tidak harus ke Malaysia. Bisa saja ke negeri yang lebih jauh, lebih baik, dan lebih amazing(!) untuk dijadikan destinasi belajar dan bertamasya.

Teringat perpisahan yang begitu hangat dengan sahabat-sahabat baru di Malaysia. Mereka yang begitu menghargai arti pertemuan. Mereka yang sangat mengerti bahwa saya pun bahagia berjumpa dengan mereka. Mereka yang dengan berat hati melepas kepulangan saya. Mereka yang dengan tulus mendoakan semoga saya selamat sampai tujuan. Doa saya, semoga mereka diberikan kemudahan dan berkesempatan untuk berkunjung ke Indonesia.

Foto bersama menjelang perpisahan. Dari kiri: saya, Iqbal Zen, Nasyitah, Anis, Adibah, dan Hazira.
Malaysia memang sudah berjarak ribuan kilo. Tetapi auranya seakan masih lekat di depan mata. Saya memang sudah di sini, dan jauh dari sana. Tetapi apalah artinya sini dan sana jika kita masih berada di dunia yang sama. Jarak dan perbedaan suasana bukan menjadi penghalang untuk saling belajar dan memahami. Tetapi bagaimanapun izinkan saya berucap, “Sayonara Malaysia. Lain sempat saya akan kembali lagi ke sana. Bi idznilLāh...” []