Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Senin, 29 April 2013

Sayonara Ujian Nasional

Oleh: Samsul Zakaria
 
SEGENAP persoalan yang menghiasi prosesi akbar bernama Ujian Nasional (UN) tahun ini memaksa kita berpikir, mengapa UN masih juga dipertahankan? UN pada wilayah yang sangat ekstrim menjelma menjadi musibah nasional yang harus segera dicarikan solusinya. Betapa banyak anak bangsa yang seharusnya bebas berkreativitas tetapi kemudian terkungkung dalam tempurung sempit bernama UN.  

Kalau boleh berspekulasi, munculnya UN –bisa jadi– berangkat dari realitas bahwa negara-negara maju sudah menerapkan evaluasi akhir “semacam” UN. Tetapi kalau dikembalikan kepada kondisi nyata bangsa Indonesia, saya merasa bahwa yang demikian itu bukanlah sebuah evaluasi yang bijak. Rentang wilayah geografis yang begitu luas, tidak mungkin disatukan dalam konteks penilaian akademis yang begitu sakral bernama UN.

Semua negara pasti ingin meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. Pendidikan, yang diiringi dengan keberlanjutan langkah yang sistematis, akan berimbas positif terhadap kemajuan bangsa. Masalahnya adalah ketika kebijakan pendidikan dibuat tanpa pertimbangan yang matang dan terkesan “asal-asalan”. Kalau begitu, bukan semakin maju pendidikan kita, tetapi justru menurun alias anjlok.

Setiap tahun UN tidak pernah absen dari pelbagai masalah, yang sebenarnya sama dan serupa. Ironisnya, UN masih terus dilanjutkan, seolah masalah yang hadir adalah angin lalu yang tidak perlu dipikirkan secara serius. Benar bahwa sebuah kebijakan memang diperuntukkan untuk kemaslahatan umat (bangsa). Tetapi, kalau ternyata kebijakan itu membawa petaka bukankah lebih baik dicarikan format lainnya saja?

Berbicara UN secara universal, UN seakan menjadi penentu penting keberhasilan pendidikan seorang siswa. Padahal, sudah banyak dipaparkan bahwa nilai akademis bukanlah semata-mata acuan kesalihan siswa. Jika dibawa dalam konteks perguruan tinggi, banyak perusahaan yang justru tidak mau menerima lulusan S-1 yang IPK-nya tinggi. Pasalnya, mereka yang nilainya tinggi tidak berarti mempunyai integritas yang tinggi pula.

Berangkat dari sini, sudah waktunya kita mengucapkan sayonara UN, lalu menuju model yang lebih manusiawi dan diterima semua kalangan. Paradigma pendidikan juga perlu –terlebih dahulu– diluruskan. Bahwa belajar bukanlah semata mencari nilai tetapi lebih jauh dan lebih mulia dari sekadar nilai. Pendidikan adalah kebutuhan yang menjadi tanggung jawab personal setiap insan.

Sosialisasi masif pendidikan karakter kalau dibaca secara mendalam sebenarnya tidak berkaitan dengan “angka/nilai” sebagaimana adanya UN. Pendidikan yang demikian lebih kepada pembangunan kepribadian siswa sehingga mereka siap untuk menghadapi “lika-liku” kehidupan. Di saat karakter sudah terbangun maka sebenarnya angka akademis yang sangat statis itu tidak lagi penting.

Ditambah dengan kecurangan yang terjadi dalam UN, suka atau tidak suka pasti bertolak belakang dengan pendidikan karakter itu sendiri. Padahal, salah satu indikasi keberhasilan pendidikan karakter adalah kejujuran. Sementara menyontek adalah contoh yang sebaliknya dari kejujuran itu sendiri. Inilah realitas yang kontradiktif dan secara faktual terjadi di negara kita, Indonesia.

Lahirnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang fokus pada keterampilan hidup siswa, tentu laik untuk diapresiasi. Dengan begitu, pendidikan menjadi fasilitator siswa untuk menyelesaikan persoalan hidup, dan bukan semata menyelesaikan soal ujian seperti halnya UN. Jika model yang demikian dapat diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan, mungkin akan lebih baik dan menarik.

Terakhir, UN dengan segala persoalan peliknya menjadi bagian dari sejarah (kelam) pendidikan bangsa. Dengan segenap masalah yang ada di dalamnya UN pada akhirnya juga tidak bisa dijadikan patokan keberhasilan siswa. Ujian itu memang penting sebagai bagian dari evaluasi. Tetapi kalau ujian kemudian disentral-sakralkan dan menjadi penentu dominan kelulusan, inilah masalah. Mari sama-sama bernyanyi, “Sayonara Ujian Nasional.”


[Diterbitkan ulang dari: Okezone]

Rabu, 10 April 2013

Beridola secara Dewasa

Oleh: Samsul Zakaria (Ka' Sams)


"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari!” Peribahasa yang sangat familiar itu adalah potret dari sikap beridola secara tidak dewasa. Beridola berarti kagum dengan seseorang kemudian menjadikannya teladan dalam kehidupan. Seorang murid memang tidak salah ketika mengidolakan “gurunya”. Masalah adalah ketika “pengidolaan” itu berjalan tanpa proses penyaringan, mana yang baik dan sebaliknya.

Sama halnya dengan seseorang yang mempunyai kebiasaan merokok. Ketika ditanya mengapa merokok? Dengan santai ia menjawab: “Seorang tokoh agama saja merokok, mengapa saya tidak boleh merokok?” Sebuah jawaban apologis plus menjadikan orang lain sebagai “kambing hitam” dari tabiat hidup yang kurang baik. Berangkat dari realitas ini, beridola secara dewasa menjadi sangat penting.

Dalam tradisi Islam, sosok yang paling ideal untuk dijadikan idola adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang nabi dan rasul pilihan, tentu seluruh aktivitas kehidupan beliau sudah selaiknya diteladani. Baik dalam wilayah ibadah ritual transendental maupun dalam hal kesalihan relasi sosial. Kalau beliau yang menjadi idolanya maka konsepsi “beridola secara dewasa” tidak lagi penting.

Berbeda halnya ketika kita memiliki idola selain Nabi Muhammad SAW. Upaya untuk menyaring mana yang baik dan tidak menjadi sangat urgen. Kita tahu setiap individu tidak lepas dari yang namanya kesalahan dan kekurangan. Seorang yang beridola secara buta dan militan biasanya tidak lagi mampu membedakan antara yang positif dan negatif. Akhirnya, ia mengikuti sang idolanya secara total dan –seringkali– berlebihan.

Dalam sebuah talk show di sebuah stasiun radio swasta dengan sangat hati-hati saya pernah berujar. Mengidolakan seorang artis sekalipun, sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Tentu dalam format untuk meneladani semangat artis tersebut dalam berkarya. Nantinya, kita akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Namun untuk –misalnya– kebiasaan artis tersebut yang menyimpang, kita tidak patut mencontohnya.

Ada falsasah yang menurut saya menarik untuk dijadikan renungan. “Alam takambang jadi guru,” kata orang Minang. Sejatinya, seluruh ciptaan Tuhan itu, baik yang hidup maupun yang mati, pantas untuk diangkat sebagai “idola hidup”. Pasalnya, Tuhan menciptakan segala yang ada dengan pertimbangan, jauh dari kesia-siaan. Pembelajaran yang demikian juga semakin mengasah kearifan kita sebagai manusia.

Selanjutnya, beridola secara dewasa juga berarti bahwa kita tidak seharusnya bersikap pasif, tetapi harus mencoba untuk aktif. Kalau selama ini kita sangat nyaman untuk menjadikan orang lain sebagai idola, lalu kapan kita siap menjadi idola? Seorang yang diidolakan pasti memiliki kelebihan. Artinya, kalau kita mau menjadi idola maka harus juga menyiapkan kelebihan khusus yang tidak dimiliki kebanyakan orang.

Beridola tidak lain adalah proses untuk menempa diri kita secara berkelanjutan. Dari “pengidolaan” tersebut, kita dapat menarik benang merah untuk dijadikan modal kehidupan. Pada waktunya, kita tentu tidak mau selalu mengekor. Kita juga berkeinginan untuk menjadi lokomotif perubahan kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Dan ini bermula dari kedewasaan kita tadi, dalam beridola.

Terakhir, mari kembali merenung. Sudahkah kita menjadi pribadi yang dewasa dalam beridola? Ataukah kita tak lebih dari anak kecil yang mengikuti begitu saja apa yang menurut kita sedap dipandang mata? Sebagai mahasiswa yang tentu dituntut berpikir kritis, saya yakin kita bisa beridola secara dewasa. Beridola secara dewasa adalah bukti bahwa kita memang termasuk golongan orang yang cerdas dan dewasa. Semoga! []

Kamis, 04 April 2013

BAHASA ITU BIASA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)



Rabu (3/4/13), saya mengikuti rangkaian tes wawancara dalam rangka pertukaran mahasiswa (student exchange) ke Malaysia. Elemen penting dalam tes wawancara tersebut adalah penguasaan bahasa. Sudah pasti bukan bahasa Indonesia maksudnya, apalagi bahasa Jawa, dan lainnya. Bahasa Arab dan Inggris yang dimaksudkan di sini. Jujur, sudah cukup lama saya tidak “menjaga” kedua bahasa tersebut dalam komunikasi harian saya.


Ketika tes tersebut saya memang bisa menjawab pertanyaan dari penguji. Pertama-tama, untuk Bahasa Arab, saya dipersilakan untuk mempresentasikan secara singkat esai yang saya tulis. Saya memang menulis esai dalam Bahasa Arab. Judulnya, “Nisbiyatul Haqīqah fi al-Islām”. Kalau dibahasa-Inggriskan menjadi, “The Relativity of Truth in Islam”. Baik, maksudnya adalah, Relativitas Kebenaran dalam Islam.


Dengan sedikit terbata-bata saya menjelaskan bahwa maksud tulisan saya adalah begini dan begitu. Setelah itu barulah saya mendapatkan beberapa tanggapan dan pertanyaan dari penguji. Saya pun mencoba untuk memberikan jawaban terbaik yang saya pahami. Tentu, saya menyampaikan jawaban siang itu dengan tingkat kelancaran yang rendah. Iya, saya sudah sedikit kehilangan kelancaran Bahasa Arab (dan Inggris).


Ketika memasuki ruang tes wawancara Bahasa Inggris, jantung saya sepertinya berdetak (sedikit) lebih kencang. Pasalnya, saya merasa bahwa saya akan mengalami kondisi yang sama. Benar, setelah membaca 2 paragraf yang ada dalam sebuah jurnal berbahasa Inggris, saya dipersilakan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa kata luput dari penerjemahan saya, karena memang tidak tahu artinya.


Saya ingat betul, Drs. Yusdani, M.Ag, salah satu penguji Bahasa Inggris menanyai saya. “Apa arti ‘dictates’ dalam tulisan tersebut?” tanyanya dalam Bahasa Inggris. Saya mencoba memutar otak. Saya ingat kalau bahan yang diberikan dosen di perkuliahan lazim disebut “diktat”. Banyak yang menyebutnya hand-out karena berbentuk slide power point. Saya jawab kalau “dictates” adalah hand-out. Senyum bermakna saya dapati dari penguji.


“Dictates” dalam paragraf tersebut tidak bisa diartikan sebagai hand-out. Arti yang pas adalah “panduan” atau guidance, kata Pak Yusdani. Saya semakin menyadari bahwa kemampuan reading Inggris saya juga butuh peningkatan yang signifikan. Saya  tentu tidak mau stagnan dalam hal bahasa, karena bahasa adalah alat untuk belajar dan memahami ilmu. Artinya, saya harus lebih sering untuk berakrab-ria dengan teks berbahasa Inggris.


Saat masih belajar dan mengaji di Madrasah Aliyah, “Guru Besar” saya sering mengingatkan. “Al-lughatu hiya al-‘ādah,” tuturnya. Bahasa itu adalah kebiasaan. Tidak mungkin seorang bisa berbahasa dengan baik kalau tidak membiasakan praktik langsung. Semakin sering kita berbahasa, bahasa apapun itu, maka semakin baik pula kemampuan kita dalam bahasa tersebut.


Sudah mafhum pula bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang paling lazim dalam sejarah kehidupan manusia. Seiring dengan dengan laju perkembangan zaman, kemampuan bahasa asing menjadi sangat penting. Pasalnya, kita juga ingin melancong ke negera lain dengan bekal kemampuan bahasa internasional. Oleh sebab itu, mari menjadi pribadi yang biasa berbahasa asing karena bahasa adalah soal kebiasaan. []

               







Hangatnya Malam yang Dingin

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Bagi saya, kenikmatan hidup itu bukan ditentukan oleh dimana saat ini saya menetap. Kenikmatan itu berkaitan dengan bagaimana cara saya menyikapi situasi dan kondisi. Dimanapun saya tinggal bukan menjadi masalah yang berarti. Di perantauan, di negeri orang, di rumah saudara, apalagi di rumah sendiri, bukanlah soalnya. Problemnya adalah bagaimana saya berfusi (melebur) dan beradaptasi secara c(t)epat dengan segala sikon tadi.
    
Saya sampaikan ke teman lama saya malam itu. Banyak orang yang karena merasakan kenikmatan di tanah rantauan. Akhirnya, ia bosan dan jenuh ketika kembali ke “pangkuan ibunya”. Ia tidak menemukan “kehidupan” di rumahnya sendiri, tempat dimana ia dahulu dilahirkan. Kehangatan keluarga tak lagi ia dapati. Kegersangan hidup yang justru senantiasa menggelanyuti hati.
    
Saya bersyukur karena saya pastinya tidak termasuk tipe orang yang saya ceritakan tadi. Ketika lama berada di “bumi orang” saya merasakan kerinduan yang begitu akut terhadap tanah kelahiran saya. Saya boleh menyusun resolusi tidak akan pulang sebelum selesai menggarap skripsi. Tetapi, kalau karenanya justru saya merana dan tidak bisa fokus, apalah jadinya?
    
Liburan yang cukup panjang ini saya akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Kerinduan pada “si kecil” yang sikapnya masih labil begitu mendera. Kangen sama masakan bunda, termasuk sama bundanya juga, dan nasihat ayah juga menjadi alasannya. Ditambah dengan berkurangnya santri yang tinggal di pesantren saya secara berkala. Pulang, bagi saya, adalah sebuah keputusan yang tepat.
    
Hari pertama di rumah, saya merasakan kedahsyatan tentang betapa indahnya kebersamaan. Di pagi hari, saya berkunjung ke rumah paman yang amat mencintai dan menyayangi saya. Paman tidak berada di rumah, ternyata. Hanya istri paman (Jawa: budhe) dan 2 orang sepupu saya (putra paman) yang tinggal di rumah itu. Sambal nikmat ala i bersama ikan mas dan sayur pondoh adalah sarapan kami pagi itu.

Sore harinya saya pergi ke warnet yang jaraknya lumayan jauh –kalau berjalan kaki– dari rumah saya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan, saya bersama seorang kakak bersilaturahmi ke kediaman adik saya. Di sana kami disambut oleh keluarganya dengan begitu hangat. Perbincangan kami yang ngalor-ngidul namun saya yakin bermanfaat begitu berkesan. Makan malam saya nikmati di rumah adik saya yang bertingkat itu.

Karena saya hanya izin keluar sebentar maka saya harus bergegas pulang ke rumah. Ketika saya bermain game kelereng bersama ayah dan adik kandung saya, datangah kawan lama saya. Ia bernama Ahmad Masruri. Teman sepermainan saya. Secara umur kami hanya selisih bulan tetapi urusan sekolah saya lebih dahulu satu tahun. Banyak kenangan manis sekaligus pahit saya rasakan bersamanya. Termasuk merokok bersama?! Sssttt
 
Malam itu saya berbicara banyak hal dengannya. Sembari mengingat kenangan masa sekolah dulu. Malam itu, kami sepakat bahwa kehidupan lah yang justru lebih banyak memberikan hikmah dan pelajaran. Sikap terbuka dan berfikir positif sangatlah penting dalam pergaulan. Kopi asli dan beberapa suguhan lainnya menemani malam keakraban kami. Singkat kata, di malam yang dingin itu, kami berbincang begitu hangat. Alhamdulillāh… []

TRADISI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Pepatah lama yang masih senantiasa relevan sampai sekarang. Sebuah komunitas memang memiliki titik kesamaan dengan komunitas lainnya. Tetapi yang harus pula diingat adalah bahwa sisi bedanya juga pasti ada. Boleh jadi dalam beberapa hal sama tetapi kekhasannya tetaplah tak sama. Disitulah kita memang harus pandai untuk cepat menyesuaikan diri ketika memasuki komunitas baru.

Sesuatu yang dianggap sopan di masyarakat tertentu barangkali akan lain ceritanya di masyarakat lain. Gaya bicara orang Sumatera, khususnya orang Medan, pasti lain dengan model tutur orang Jawa. Orang Madura juga punya ciri khas sendiri yang juga pasti berbeda dengan orang Ambon. Disamping itu, dari sisi tradisi sosial kemasyarakatan juga punya ciri khas masing-masing.

Tradisi adalah kebiasaan yang terus dipertahankan di masyarakat. Tradisi memang tidak semuanya baik kalau ditinjau dari kacamata agama. Tetapi saya yakin masyarakat pasti punya alasan yang kuat mengapa mempertahankan tradisi tersebut. Saya sering berucap bahwa ketika seseorang itu melakukan apa yang diyakininya maka siapa yang sanggup menggoyahkan prinsip tersebut?

Dahulu, para pendakwah dengan nama besar Wali Songo datang ke Indonesia. Mereka telah melakukan metode ajakan yang sangat brilian. Penghargaan mereka terhadap tradisi yang ada luar biasa tinggi. Akhirnya, langkah yang mereka ambil tetap disinkronkan dengan tradisi bangsa yang masih eksis. Secara kemasan memang sama tetapi yang mereka lakukan adalah pengubahan isi atau substansi.

Saya tidak tahu pasti apakah tradisi dan budaya adalah sama atau sebaliknya. Dosen saya pernah mengingatkan secara tegas bahwa budaya adalah selalu bertalian dengan yang baik-baik. Katanya, budaya adalah kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus, diwariskan secara turun-temurun, dan dianggap sebagai kebaikan. Karenanya, dosen saya itu pastilah tidak setuju kalau korupsi di Indonesia dianggap sudah “membudaya”.

Saya pribadi kalau mendengar kata budaya maka akan terkonstruksi di pikiran saya akan kebiasaan masyarakat. Saya tidak membedakan apakah itu sesuai dengan nilai-nilai agama atau sebaliknya. Tetapi memang ketika dimintai pendapat tentang tradisi yang berbau mistis dan dekat dengan kesyirikan dengan hati-hati saya mencoba meluruskannya. Dalam konteks lain, budaya yang memang baik saya dengan senang hati mendukungnya.

Di desa saya, ada tradisi Yasinan bersama setiap malam Jum’at. Memang ada golongan masyarakat yang tidak senang dengan tradisi model beginian. Bahkan ada juga anggota masyarakat desa saya yang tidak berkenan mengikutinya. Saya tidak menyalahkan orang yang berpendapat demikian. Tetapi barangkali akan lebih bijak kalau terlebih dahulu mencermati banyaknya manfaat dari tradisi tersebut.

Saya hafal surat Yasin sebenarnya bukan karena menghafal. Tetapi karena sering membacanya, termasuk ketika masih aktif mengikuti yasinan di desa saya. Saat acara Yasinan itu masyarakat bisa berbagi cerita, bersilaturahmi, bertanya kabar satu sama lainnya. Selain itu, tuan rumah juga berkesempatan untuk memberikan sedekah terbaiknya. Kalau begitu bukankah ini tradisi baik yang harus dijaga? Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

GURU KEHIDUPAN

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Dosen public speaking saya sering memberikan petuah berharga kepada saya. Bagi dosen saya itu, dunia kampus sebenarnya hanya memberikan sedikit ilmu kepada mahasiswa. Justru yang banyak memberikan ilmu dan segala macam derevasinya adalah universitas kehidupan. Universitas kehidupan adalah tempat menimpa ilmu yang tak terbatasi sekat ruang tertentu.

Belajar di universitas kehidupan tak perlu registrasi awal dan –apalagi– registrasi ulang. Semua mahasiswanya dibebaskan dari biaya “perkuliahan”. Tetapi di balik itu, ilmu yang diperoleh darinya sungguh luar biasa. Pepatah yang sudah sering kita dengar, “Jadikan setiap tempat sebagai madrasahmu, dan setiap pribadi yang engkau temui sebagai gurumu.” Kita memang harus belajar dari kehidupan.

Segala hal yang kita jumpai di alam ini tiada lain adalah guru kehidupan. Dari mereka kita memeroleh petuah yang menjadikan kita semakin bijak dan dewasa. Sudah ditegaskan bahwa apapun yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki makna, maksud, dan tujuan. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau kita mencoba mengarifi dan mengambil pelajaran dari itu semua.

Banyak orang yang nilai kampusnya tinggi tetapi ketika bermasyarakat ia tak begitu mengerti. Tidak sedikit juara kelas yang kalah telak di masyarakat dengan mereka yang tak pernah mengenal ruang kelas. Artinya, dunia akademik memang penting. Tetapi kalau tidak diiringi dengan keterbukaan diri untuk belajar lebih banyak dari kehidupan maka tidak banyak manfaatnya.

Saat ini banyak dikembangkan sekolah alam. Tentu kita patut memberikan apresiasi positif. Sebagai permisalan, banyak penebangan liar yang terjadi barangkali bermula dari ketidakpedulian terhadap kelestarian alam. Sekolah alam tentu membuka wacana untuk mencintai alam. Kalau sudah cinta maka tidak akan terfikir untuk “menyakiti” apa yang dicintai. Justru yang dilakukan adalah bagaimana yang dicinta itu agar lestari.

Beberapa perusahaan ketika akan merekrut pegawai baru mensyaratkan “pengalaman kerja”. Selain nilai yang didapat di akhir jenjang pendidikan ternyata pengalaman kerja juga menjadi pertimbangan. Sebab, pengalaman tiada lain adalah guru terbaik bagi siapapun. Orang yang sudah berpengalaman pasti berbeda dengan yang tidak. Ilmu yang sekadar teori adalah hampa. Sementara praktik itu juga sudah mengandung teori.

Kesadaran untuk belajar dari kehidupan secara universal berangkat dari sikap yang terbuka. Orang yang merasa cukup dengan menggeluti dunia akademik kampus mungkin sukar untuk membuka diri. Padahal, kepuasan dalam pencapaian ilmu pengetahuan adalah kenikmatan semu. Itu adalah bayang-bayang hampa yang membuat pelakunya stagnan alias tidak maju dan berkembang.

Alam semesta dengan segala isinya disediakan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia. Tinggal bagaimana kita menyadarinya lalu menjadikannya sebagai guru kehidupan. Dari seekor nyamuk yang gigitannya membuat bibir meringis, Allah ingin menyampaikan pesan. Semua diciptakan untuk memberikan pelajaran berharga bagi manusia. Kalau begitu, sudahkah kita belajar dari kehidupan? []

BERHENTI MEMBENCI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Hadirnya rasa benci dalam hati diawali dengan lunturnya rasa cinta dalam dada. Begitu mudahnya kita membenci sebagaimana halnya kita begitu cepat memuji. Katanya, cintailah segala sesuatu sekadarnya saja. Boleh jadi apa yang dicintai berubah menjadi yang paling dibenci. Sebaliknya, kalau kita harus membenci maka selaiknya dengan kadar yang biasa-biasa saja. Boleh jadi apa yang kita benci menjadi yang (paling) kita cintai.

Titik singgung antara benci dan cinta memang sangat tipis. Kata orang yang sedang kasmaran, “benci” itu benar-benar cinta. Memang ada benarnya. Orang yang menjalin cinta itu seringkali diawali dari kondisi saling membenci. Oleh karena itu, hati-hati kalau saat ini kita sedang membenci lawan jenis. Bisa jadi kita dibuat tergila-gila karenanya. Kalau ternyata dia menjadi kekasih kita, bagaimana?

Betapapun demikian, teman seangkatan saya di pesantren mengingatkan satu hal. Kita boleh membenci sikap buruk seseorang tetapi tidak boleh membenci pribadi yang bersangkutan. Sebab, membenci “pribadinya” sama saja membenci ciptaan Allah dimana Allah pun tak pernah membenci ciptaan-Nya. Rahmat Allah sangat luas, mengalahkan kemurkaan-Nya. Kalau begitu sesama manusia kita tidak sepatutnya menebarkan kebencian.

Kalau ada teman kita yang kebetulan menempuh jalur yang melenceng, kita tidak seharusnya menjauhinya. Yang salah itu jalan yang ditempuhnya, dan bukan orangnya. Kalau karena alasan itu kemudian kita meninggalkannya berarti kita tidak berkesempatan berbuat baik padanya. Kepada sesama, sesuai dengan surat al-‘Ashr, kita harus saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Saya sering mengungkapkan ini dalam banyak perjumpaan. Peribahasanya kan jelas. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Terkadang kalau kita fokus pada hal yang buruk akan menutupi netralitas kita sebagai manusia. Karena keburukan yang tak seberapa menghijab pandangan kita terhadap banyak kebaikan yang dimiliki seseorang. Padahal yang ideal tentunya bukanlah demikian.

Melalui tulisan singkat ini, saya pribadi mengajak untuk merenung. Kebencian hanya menghadirkan ketidaknyamanan hidup yang menjadikan dunia terasa sempit. Kita membenci itu artinya kita membuka keran besar agar orang lain (balik) membenci kita. Bagaimanapun, hubungan sebab-akibat dalam relasi sosial cinta-benci sangatlah mungkin ada. Kalau kita cinta maka dicinta, kalau membenci maka dibenci.

Ketika kita membenci saudara kita karena sikapnya yang tercela, mari kita sama-sama berpikir. Kalau seandainya yang kebetulan bersikap tercela tersebut adalah kita sendiri, bagaimana? Bukankah karenanya kemudian kita merasa teralienasi dari kehidupan. Kita merasa sendiri dalam menjalani kehidupan. Bukankah mereka yang tersesat butuh support atau dukungan untuk keluar dari ranjau setannya.

Sekali lagi bahwa ketika kita harus membenci maka obyeknya bukannya manusia, tetapi cukuplah perbuatannya. Dengannya kita berlindung agar Allah menjauhkan sikap tersebut dari sisi kita. Teman saya sering mengingatkan. Kalau kita membenci seseorang karena kejahatannya maka kita tidak meninggal dunia sebelum melakukan kejahatan yang sama. Na’ūdzubillāhi min dzālika… []