Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Sabtu, 30 Maret 2013

TATA KRAMA BERIDOLA

Artikel Jumat


اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan.”
 (Kata Hikmah)


Mentari mulai menyinari hamparan bumi. Farhan dan Ilham terlibat diskusi singkat selepas sarapan pagi. Mereka adalah teman dekat yang sedang mengikuti acara simposium nasional di daerah puncak. Untuk diketahui, Farhan adalah perokok berat sementara Ilham boleh dikatakan anti dengan yang namanya rokok. Perbedaan itu memang tidak menimbulkan masalah besar bagi pertemanan mereka. Tetapi pagi itu, Ilham hanya ingin menguji bagaimana prinsip Farhan tentang kebiasaannya: merokok.
 
Nikmatnya! Selepas sarapan pagi merokok gini…,” seloroh Farhan bangga. Awalnya, Ilham hanya diam, tak tertarik menimpali. “Ayo, cobalah sesekali ngrokok, Ham. Kan enak, apalagi pas dingin-dingin gini…,” goda Farhan, sembari menghisap rokoknya. Akhirnya, Ilham pun merespon rayuan Farhan, teman dekatnya itu. “Dulu saya memang pernah mencoba merokok. Sekarang dapat dikatakan sudah taubat lah. Taubatan nashūha…” Ilham menjelaskan, cukup panjang. Angin pagi berhawa dingin terus saja berhembus.    
 
Begini, Han. Bukannya kata dokter merokok itu berbahaya ya? Kenapa kamu memilih merokok? Saya yakin kalau kamu mau berhenti pasti bisa…,” tanya Ilham, seolah menginterogasi. Dengan nada bicara lumayan meninggi, Farhan mengomentari pertanyaan Ilham. “Jangankan saya yang orang awam, Kawan. Kamu tahu Kiayi Fulan, kan? Dia seorang kiayi besar tetapi buktinya dia merokok. Kalau kiayi saja merokok berarti saya lebih wajar donk kalau juga melakukan hal yang sama. Sakit dan sehat kan urusan Sang Kuasa, bukan?” papar Farhan.
 
Tapi kalau ternyata kamu sakit akibat merokok apa kiayi itu ikut menanggung biaya berobatmu?” lanjut Ilham, dengan nada rendah sembari tersenyum penuh makna. “Iya tidak lah. Pasti dengan uang saya sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kiayi yang saya maksudkan tadi. Ngomong-ngomong kok kamu jadi tanya-tanya yang tak biasa gitu sich?” selidik Farhan. “Tenang, Kawan. Bukan maksud apa-apa kok. Saya hanya ingin mengetahui argumenmu tentang kebiasaanmu dan kebiasaan banyak orang tentunya,” jawab Ilham.
 
Percakapan pagi itu terhenti. Pukul 07.00 WIB mereka harus kembali ke asrama, mandi untuk persiapan acara. Sebenarnya, faktualitas cerita di atas tidaklah penting. Saya hanya mencoba mengajak pembaca untuk merenung. Mari bersama mengambil pesan dan hikmah yang hadir dari kisah singkat di atas. Bahwa betapa banyak orang yang meniru tindakan orang yang dianggap mulia secara berlebihan alias tanpa melakukan filterisasi. Ibaratnya, kalau dalam ilmu fikih sikap yang demikian adalah “taqlid buta”.
 
Realitas tersebut di masyarakat –walaupun tidak persis dengan kisah di atas– sungguh seringkali kita dapati. Ketika mereka “mengidolakan” seseorang maka yang terjadi adalah “pengkultusan”. Apapun yang eksis dari pribadi yang dikagumi dianggap sebagai kebenaran. Akhirnya, mereka mengikutinya tanpa berusaha memilah dan memilih. Sikap yang demikian barangkali disebabkan oleh egoisme yang akhirnya menumpulkan rasionalisme. Padahal seharusnya rasionalitas dan hati nurani tetap harus diaktifkan perannya.

Idola Sejati 
Berbicara masalah idola (yang) sejati pastinya akan kembali pada sosok Nabi dan Rasūl, kekasih Allāh. Dialah baginda Muhammad SAW, yang kata istri beliau, ‘Aisyah RA adalah “Al-Qur’ān yang sedang berjalan.” Setiap muslim memang dianjurkan untuk senantiasa berkaca pada kepribadian beliau. Bagaimana beliau beribadah, berumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara adalah preseden terbaik (uswah hasanah) bagi umat Islam. Kalau mengidolakan beliau bisa dipastikan tidak akan tersesat dan terjerumus ke jalan yang salah.
 
Kalau berhubungan dengan baginda Muhammad SAW menurut saya “taqlid buta” bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan dalam konteks yang wajar dan bijak, kalau ingin selamat cukup mengikuti langkah beliau. Tentunya dengan bijak tadi, tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi kita sekarang ini. Contohnya, tidak mungkin berkurban dengan unta di Indonesia jika binatang tersebut di negeri ini hanya dapat dihitung dengan jari. Karena substansinya adalah berkurban maka penyelerasannya adalah –misalnya– dengan sapi atau kerbau.
 
Sekali lagi, tata krama beridola kalau obyeknya adalah Nabi Muhammad SAW tidak penting lagi untuk dibahas secara mendalam. Pasalnya, tidak ada aturan formal dan detail mana yang boleh ditiru dan mana yang tidak. Tetapi kalau yang diidolakan adalah selain Rasūlullāh mana disitulah “tata krama” yang dimaksudkan dalam tulisan ini menjadi berdaya-guna. Bagaimana bersikap yang bijak dan dewasa ketika beridola adalah sangat urgen. Dengan demikian maka tidak ada lagi “pengkultusan” yang dekat dengan kesyirikan itu.

Kerancuan “Mā” dan “Man”
Suatu malam saya terlibat percakapan hangat dengan seorang teman dekat. Kisahnya, teman saya tadi mencoba membiasakan diri untuk belajar dari anak kecil sekalipun. Baginya, dari mereka yang masih suci itu banyak keluar kata hikmah yang luar biasa dalam. Di titik itu saya sadar. Teman saya, tiada lain, sedang mengamalkan “mahfudhāt” yang pastinya sudah familiar bagi mereka yang pernah tinggal di pesantren. Disamping kata ustadz saya, jadikan setiap insan yang kau temui sebagai guru, siapapun itu.

Sejak duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyaah (MI), saya dikenalkan dengan kata hikmah ini. “Undzur mā qāla wa lā tandzur man qāla.” Sebuah anjuran untuk melihat apa (mā) yang dikatakan bukan pada siapa (man) yang mengatakan. Dalam bahasa yang lain dikatakan, “Khudzil hikmata walau min fammil bahā-im.” Artinya, ambil-lah hikmah itu walaupun dari mulut bangsa hewan sekalipun. Kepada siapapun dan apapun manusia boleh dan seharusnya belajar dan mengambil hikmah. Termasuk pada alam semesta selain manusia, bahkan hewan tadi.

Sementara saat ini logika hikmah di atas seringkali berubah arah. Banyak orang yang lebih mendahulukan man dibandingkan mā. Siapa yang berkata itu lebih penting walaupun apa yang dikatakan sebenarnya biasa-biasa saja. Sementara kata sarat hikmah dari orang biasa, kelas bawah dan rendahan luput dari pandangan mata. Akhirnya, ungkapannya menjadi “Undzur man qāla wa lā tandzur ma qāla.” Sebuah realitas yang darinya saya secara pribadi harus berusaha menginsafinya secara sadar.

Keluasan makna kata bahasa Arab membuat kita boleh menafsirinya secara luas dan beragam. Perkataan (qāla, qaul-un) itu sejatinya bukan hanya yang keluar dari lisan. Lebih jauh dan penting dari itu adalah bahwa tindakan seseorang juga perkataan –namun– dalam format yang berbeda. Ada istilah lisānul hāl dan lisānul maqāl. Keduanya dikenalkan untuk membedakan mana kata yang lahir dari tindakan (hāl) dan yang keluar dari lidah itu sendiri (maqāl). Pribadi manusia tidak akan lepas dari dua hal tersebut.

Kisah yang saya tuliskan di awal adalah contoh dimana idealitas logika “mā” dan “man” sudah mulai kabur. Seorang kiayi memang-lah sosok yang harus dihormati karena keluhuran ilmunya. Fatwa keagamaannya harus didengar untuk kehidupan yang lebih baik, dan benar. Doanya juga diharapkan karena beliau lebih dekat dengan Allāh ta’āla. Tetapi dalam konteks dimana apa yang dilakukan seorang kiayi memang tidak sepenuhnya benar apalagi tidak benar (salah), bukankah wajar kita tidak mengikutinya?

Masalah rokok memang masih menimbulkan silang pendapat. Menurut saya, masalah tersebut sulit menemui titik terang, sebagaimana khilāfiyah dalam perkara lain. Tetapi kalau dibenturkan dengan masalah etika barangkali pilihan untuk tidak merokok pastilah lebih baik. Apalagi dalam kondisi tertentu, berhenti merokok ­–paling tidak untuk sementara waktu– adalah sebuah kewajiban. Hal ini, sekali lagi, menjadi lucu dan rancu kalau seorang awam merokok dengan alasan seorang kiayi pun juga merokok.

Rokok memang berada dalam lingkaran khilāfiyah yang saya utarakan tadi. Ada “fatwa” yang mengatakan akan keharamannya. Ada juga yang membolehkannya, dan juga memakruhkannya. Hal yang pasti, saya belum pernah mendengar fatwa secara terbuka yang bunyinya bahwa merokok itu “berpahala”. Kepada Allāh semata kita sandarkan kebenaran dari perdebatan masalah ini. Pilihan tetaplah kembali kepada pribadi masing-masing, dengan segala konsekuensi yang hadir di balik pilihan itu.

Ikhtitām: Beridola secara Dewasa
Titik tekan dalam beridola adalah pada mā bukan pada man. Bolehlah berpatokan pada man tetapi bukan dalam rangka memprioritaskannya. Kedewasaan sikap dalam beridola adalah utama. Kepandaian untuk memfilter mana yang baik dan mana yang sebaliknya harus terus diasah. Tentu kita tidak ingin mendengar orang yang tak tahu apa-apa berkata begini: “Saya tidak shalat Ashar karena saya pernah melihat kiayi A tidak menunaikannya.” Padahal kiayi yang dimaksud sedang safar (dalam perjalanan) dan sudah menjama’ taqdīm shalatnya. Na’ūdzubillāh

Beridola itu memang tidak salah. Setiap insan sejatinya adalah “guru kehidupan”. Darinya kita bisa mengambil sisi baik untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan. Dalam sebuah kajian senja di radio swasta saya pernah dengan hati-hati bertutur untuk merespon pertanyaan yang datang. Mengidolakan seorang artis pun tidak masalah dalam rangka meneladani semangatnya dalam berkarya dan berkreativitas. Bukan dalam hal pakaian –misalnya– yang seringkali tidak islami itu. Jadi, mari beridola secara bijak dan dewasa.  Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
   
Samsul Zakaria,
Santri Ponpes UII

BOLA SORE

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
“Ayo, Mas, maen bola!” ajak adik saya. Sungguh, sebuah ajakan yang bagi saya berat untuk ditolak. Dengan senang hati saya pun menurutinya. Di lapangan, sudah berkumpul beberapa orang. Mereka sudah memulai pertandingan. Sore itu, saya langsung masuk, dan bermain bersama mereka. Bermain sepak bola di sore hari adalah nostalgia saat saya masih belum pergi “merantau”.

Saat saya berada di tanah rantau, tentu saya mendapati iklim yang berbeda. Benar bahwa saya masih bisa bermain sepak bola dengan teman-teman saya. Tetapi tentunya dalam suasana yang berbeda dibanding dengan ketika masih berada di desa. Emosi yang ikut serta dalam pertandingan persahabatan tersebut tentu juga lain. Karenanya, bagi saya sore itu adalah sore yang berharga.

Sepak bola di desa sangat kompleks sekali pemainnya. Dari yang masih duduk di bangku MI (setingkat SD) sampai yang sudah beranak dua. Hal itu membuat view lapangan menjadi menarik. Teriakan tak pernah terlewatkan. Baik ketika goal tercipta atau sebaliknya, saat tendangan melesat kencang tetapi hanya mengarah ke samping gawang. Itu semua menambah semarak adu tanding sore hari.


Sepak bola memang boleh dikatakan sebagai olah raga yang merakyat. Bermodalkan lapangan –yang di desa saya maksudnya adalah gabungan halaman rumah penduduk. Ditambah dengan bola yang seadanya, kita bisa bermain bola. Urusan keamanan boleh dinomorduakan. Oleh karena itu, sore itu tak satupun diantara kami mengenakan sepatu. Kami sudah terbiasa.

Sedikit membandingkan dengan olah raga lain, misalnya. Sebut saja bulu tangkis. Selain membutuhkan peralatan lain selain bola yaitu raket juga masih perlu net untuk bermain. Bola Volley, selain membutuhkan bola juga sama, memerlukan net. Tetapi sepak bola lain ceritanya. Benar bahwa kami butuh gawang. Tetapi gawang kami sangatlah simpel. Ambil kayu ukuran kecil sebanyak 4 buah lalu ditancapkan maka jadilah gawang.

Bahkan bola yang kami gunakan untuk bermain sore itu bukanlah bola kaki, sebenarnya. Bola tersebut adalah Bola Volley yang sudah mengelupas kulit luarnya. Ini bukan masalah adil dan tidak dalam memperlakukan sesuatu. Tetapi masalah penerapan kata hikmah. Katanya, tiada rotan akarpun jadi. Karena tidak ada bola kaki beneran ya kami gunakan bola kaki jadi-jadian.

Bola terus saja berlarian. Kebersamaan benar-benar terasa. Beberapa orang nampak menyaksikan permainan kami, termasuk ayah saya. Beberapa orang yang melintas dengan sepeda motor pasti sedikit melirik permainan kami. Sajian senja yang barangkali tidak selalu eksis di setiap desa. Bahkan di desa saya sendiri tidak selalu ada tiap sorenya. Kalau ada yang memulai ya ada, dan sebaliknya.

Permainan akan terhenti ketika matahari sudah mulai menenggelamkan diri. Kira-kira jam 6 sore permainan kami sudahi. Segenap kenangan singat selama pertandingan masih mengiang. Tetapi Maghrib tak lama lagi datang menyapa. Saya pun segera mandi dan bersiap-siap menuju mushalla. Sore itu menjadi momen berkesan yang menyehatkan badan. Kepada Allah, saya menundukkan diri. Alhamdulillāh... []
 
Foto: Adik saya, Amir Yusuf (belakang paling kanan) bersama teman-temannya.

Rabu, 27 Maret 2013

BERBEDA ITU BAIK


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 

Dia pintar tetapi bodoh!” Singkat, lugas, dan sangat dalam maknanya. Saya ingat betul dimana saya pertama kali mendengar peribahasa bernas tersebut. Teman perempuan saya di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dulu yang mengucapkannya di ruang kelas. Dia-pun kala itu menjelaskan maksud dari peribahasa tersebut. Seseorang itu boleh jadi pintar dalam satu hal tetapi bodoh dalam hal lain.


Awalnya, saya selalu mengingatkan adik saya –yang belum rajin belajar– agar terus belajar. Hal itu berawal dari aduan arang tua saya bahwa adik saya yang laki-laki itu susah sekali kalau disuruh membaca/belajar. Sejurus dengan itu, saya pun berusaha membujuknya untuk belajar. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya kemudian berpikir. Buat apa saya memaksa adik saya untuk membaca buku?

Saya khawatir justru paksaan itu menjadikan adik saya tertekan, dan tidak bisa berkembang. Saya mencoba menganalisa secara sederhana bahwa passion adik saya bukanlah di sana. Adik saya itu gemar membaca tetapi bukan buku, melainkan “semesta”. Dia lebih suka memancing dan berkeliaran dalam artian positif. Dia, saya yakin, mendapatkan makna kehidupan yang barangkali tidak saya dapati.

Saya ingat betul dahulu saya pun mengalami hal yang sama. Sebagai anak pertama yang bertugas menasihati saya hanyalah ayah dan bunda. Saya ketika itu memang kesannya dipaksa untuk membaca/belajar. Akhirnya, saya pun terbiasa dan enjoy dengan aktivitas tersebut. Tetapi untuk adik tercinta saya, hal yang demikian barangkali tidak lah pas. Saya lebih suka ia “tumbuh dan berkembang” sesuai dengan bakat dan minatnya.

Jalan kehidupan seseorang memang adalah sesuatu yang sahih untuk direncanakan. Tetapi hasil finalnya tidak pernah bisa diprediksi secara valid dan akurat. Katanya, para pengusaha sukses itu justru sekolahnya tidak secemerlang orang cerdas kebanyakan. Tetapi karena kegigihannya di luar kelas mereka mampu “mengenggam” dunia. Saya melihat bahwa adik saya punya kans yang sama.

Adik saya, saya tahu, memang tidak pernah masuk 3 besar di sekolahnya. Tetapi dalam relasi sosial, dalam hal berteman, dia lebih bisa memaknainya secara dalam. Dari situ saya menjadi semakin sadar bahwa dia memang harus “dibiarkan” untuk menempuh jalannya sendiri. Selama pergaulannya benar, terjaga, teman-temannya dapat dipercaya, dan tidak merokok, bagi saya, tidak masalah.

Oleh karena itu, sekarang saya hanya mengingatkannya dalam hal belajar sekadarnya saja. Hal yang pasti, saya hanya ingin mengatakan karena ia akan menghadapi ujian maka mau tidak mau ia harus menyiapkan diri. Saya yakin dia akan mengerti dan paham maksud saya. Pada akhirnya, secara umur saja berbeda jauh, tentu dalam banyak hal saya pasti berbeda dengan adik saya.

Tentu sebuah tindakan aniaya ketika sama memaksa diri saya untuk menyama(-nyama)kan sesuatu yang fitrahnya memang berbeda. Justru kalau nanti kami sukses dari lajur yang sama akan biasa-biasa saja. Tetapi kalau kami sama-sama sukses lewat rute yang berbeda akan lebih menarik dan berkesan. Ringkasnya, berbeda itu sebenarnya indah dan harus dilestarikan. Pelangi itu indah karena 7 warna yang –sudah pasti– berbeda. []

Foto: Amir Yusuf (kelas VIII MTs), adik kandung saya yang saya ceritakan dalam tulisan ini.


Senin, 18 Maret 2013

ISLAM, KUALITAS ATAU KUANTITAS?




“…Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allāh. Dan Allāh bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 249)


Penjual yang ingin barang dagangannya laku keras –biasanya– akan mengatakan: “Kualitas terjamin!” Penegasan bahwa mutu barang yang dijualnya tidak diragukan. Benar bahwa seringkali apa yang diucapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan. Tetapi menurut saya, manusia akan merasa senang membeli barang yang (dijamin) berkualitas tinggi. Kualitas yang baik biasanya disertai kauntitas yang baik pula. Dan tidak berlaku sebaliknya. Makanya sampai saat ini saya belum pernah mendengar pedagang berteriak: “Kuantitas terjamin!”



Ketika kualitas dan kuantitas bisa sama-sama baik tentu ini adalah sebuah idealisme. Masalahnya, tidak semua hal termasuk manusia sebagai subyek bisa selalu idealis. Kalau tidak bisa bersikap idealis maka setidaknya memilih yang mungkin alias realistis. Dalam suasana dimana manusia harus memilih antara kualitas dan kuantitas, menurut saya pilihan akan lebih banyak jatuh pada opsi pertama, kualitas. Tentu, dalam kasus lain dan dengan pertimbangan kemaslahatan kuantitas bisa menggantikan posisi kualitas.
 
Dalam Al-Qur’an ada kisah yang sangat menarik untuk dijadikan tamsil dalam masalah ini. Ketika Thalut dan bala tentaranya menyaksikan kedigdayaan pasukan Jalut, seketika mereka pesimistis. Seolah tidak ada lagi kekuatan bagi mereka untuk perang melawan Jalut dan tentaranya. Namun, orang-orang yang yakin akan berjumpa dengan Tuhannya benar-benar optimistis akan ke-MahaBesaran-Nya. “Betapa banyak kelompok kecil (fi-ah qalīlah) mengalahkan kelompok besar (fi-ah katsīrah) dengan izin Allāh,” kata mereka.
 
Dalam perang Badar –misalnya–, jumlah kaum muslim sangat minimalis dibanding dengan serdadu lawan. Kaum muslim hanya berjumlah 313 orang sementara lawannya sekitar 1000 orang. Beruntungnya, –atas pertolongan Allāh– jumlah yang hanya kurang dari sepertiga total lawan itu bisa memenangi perang. Dalam perang tersebut, seorang muslim paling tidak bisa mengalahkan 3 musuhnya. Pasukan yang berkulitas tinggi memang akan menang melawan pasukan yang jauh lebih besar kuantitasnya namun dengan kualitas yang sebaliknya.

Seorang dosen yang menyarankan saya menulis topik ini pernah berkomentar. “Perubahan itu tidak membutuhkan banyak orang tetapi hanya membutuhkan komitmen yang tinggi.” Statemen tersebut pertama kali saya dengar darinya ketika dia mengomentari jumlah peserta diskusi yang tidak begitu banyak. Baginya, jumlah yang besar namun tanpa komitmen tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, sedikit namun memiliki loyalitas dan semangat yang tinggi akan membawa perubahan berarti.

Konsistensi Ibadah
Beberapa hal yang saya sebutkan di awal adalah sebuah introduksi untuk memahami kerangka Islam yang syāmil dan kāmil. Berbicara tentang Islam secara praktis pastinya akan berhadapan dengan konsepsi ibadah dalam Islam itu sendiri. Ibadah dalam Islam adalah inti yang dapat menghantarkan seorang hamba ke hadapan Rabb-nya. Mafhūm mukhālafah-nya, tanpa kekuatan ibadah yang baik seorang akan sukar menjumpai Sang Pencipta. Oleh karena itu, ibadah merupakan “jalur resmi” untuk mendekati Tuhan.

Dalam menjalankan ibadah kepada Allāh, seorang hamba hendaknya dapat bersikap konsisten. Dalam bahasa “Islamnya” dikenal dengan istilah istiqāmah. Selama seorang hamba masih hidup dengan menggunakan nafas anugerah Allāh maka pada saat itulah ia masih berkewajiban untuk mengabdi, menghamba kepada-Nya. Ketika ibadahnya terputus maka hubungan transendentalnya akan mulai memudar. Dan ini bukan merupakan bagian dari frame istiqāmah sebagaimana yang ditekankan dalam Islam.
 
Ibadah yang baik itu bukan yang banyak namun kemudian terputus (munqathi’). Ibadah yang baik itu walaupun sedikit tidak masalah tetapi dilakukan terus-menerus, berkesinanbungan, dan tanpa henti. Sering saya contohkan. Membaca Al-Qu’an sampai khatam dalam waktu sehari-dua hari memang perkara yang mulia. Masalahnya, kalau setelah itu tidak membacanya sama sekali tentu tidak ada efek positif yang berkelanjutan dari khataman Al-Qur’an tersebut. Sebab, kontinuitas itu penting sekali dalam ibadah.

Akan lebih baik justru dengan cara membaca Al-Quran tiap hari satu juz, misalnya. Memang baru akan khatam dalam waktu satu bulan. Tidak masalah, asalkan dilakukan secara berkelanjutan. Pada akhirnya, dalam satu tahun akan khatam 12 kali juga. Atau kalau memang tidak bisa ya setiap hari setengah juz, atau selembar, atau satu halaman saja. Ini lebih baik karena konsistensi itu berhubungan dengan kualitas ibadah. Ibadah yang ‘ala dawām (terus-menerus) berimplikasi positif yaitu sebuah perenungan mendalam bagi subyeknya.

Matematika Ibadah
Selain masalah kualitas ibadah dalam kontruksi istiqāmah di atas, ada juga hal penting lainnya. Dalam Al-Quran memang disebutkan bahwa mereka yang melakukan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat kebaikan (bi ‘asyri amtsālihā). Bahkan bersedekah itu dibaratkan dengan menanam benih (padi) hingga tumbuh darinya 700 benih baru. Sedekah akan dibalas dengan lipatan pahala yang luar biasa bahkan tidak terhingga. Model lipatan pahala boleh menjadi salah satu motivasi tapi bukan tujuan inti dari ibadah itu sendiri sesungguhnya.

Harus ada pembeda yang jelas antara mana yang tujuan dan mana yang hikmah. Ibadah, sedekah termasuk didalamnya, tujuannya adalah untuk meraih keridhaan Allāh (ibtighā-an li mardhatillāh). Ketika kemudian Allāh memberikan “kemudahan” karena ibadah tersebut, itu urusan lain. Dan itulah yang disebut dengan hikmah tadi. Hikmah, sebagaimana pernah dijelaskan oleh dosen saya dengan sangat baik, berbeda dengan tujuan. Hikmah adalah apa yang kita dapatkan tetapi bukan yang kita inginkan sejak awal sebagaimana tujuan.

Ada “mega-trend” di masyarakat kita: khususnya anjuran bersedekah (dan ibadah lainnya). Mereka yang menganjurkannya kemudian memberikan motivasi bahwa yang mau melakukannya akan mendapat balasan yang berlimpah. Selain itu, dengan bersedekah akan terhindar dari musibah, rezekinya semakin lancar dan berkah. Itu memang tidak salah tetapi kalau tidak dipahami secara benar dikhawatirkan mereka yang melakukannya akan melenceng niatnya. Bukan Allāh lagi yang menjadi tujuan, justru lipatan pahala yang didewa-dewakan.

Kalau bersedekah 10 ribu maka esok hari atau lusa akan mendapatkan balasan dari Allāh sebanyak –paling tidak– seratus ribu. Ketika logika matematis ini ternyata tidak nyata, apa yang akan terjadi? Pelakunya akan merasa menyesal telah kehilangan 10 ribu dari kantungnya. Sebab, bukan Allāh tujuannya bersedekah tetapi balasan nyata itu yang diharapkannya. Sungguh, telah blur batasan antara hakikat dan hikmahnya. Allāh itu Maha Segalanya yang tidak perlu diajak untuk “bermain” logika angka (matematika).

Membangun logika bagi anak kecil yang paling mudah adalah –memang– dengan ilmu hitung. Seiring berjalannya waktu maka keberlanjutan dari pemahaman logika tidak lagi dengan matematika. Tetapi lebih luas, lebih dalam, lebih tinggi dari sekadar matematika. Untuk menguatkan seorang yang lemah imannya dengan lipatan pahala agar ia melakukan kebaikan memanglah bijak. Tetapi kalau ini dilakukan tanpa batas tentu tidak mendidik, tidak meningkatkan derajat amal kebaikan hamba di mata Allāh ta’āla.
  
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan dalam format “itung-itungan”. Matematika ibadah ini –na’udzubillah– akan lebih bermasalah ketika ditafsirkan secara banal dan sesat. Misalnya seorang koruptor yang mengambil uang negara sebesar satu milyar kemudian menyedekahkan seratus jutanya. Dia merasa bebas dari siksa karena dosa semilyar sudah terbayar lunas oleh pahala semilyar dengan sedekah seratus juta tadi. Inilah sebuah pengamalan yang fatal dalam kehidupan sosial.

Perlu diingat dan ditekankan bahwa tujuan ibadah adalah keridhaan Allāh, bukan yang lainnya. Inilah yang sebenarnya menjadikan kualitas ibadah itu meninggat dan luhur. Ibadah yang berkualitas tinggi juga menghantarkan pelakunya kepada pamahaman yang dalam akan Islam itu sendiri. Berislam bukan lagi bermain hitung-hitungan dengan Tuhan hingga melupakan inti dari ibadah itu sendiri. Berislam adalah penyerahan diri total untuk mengabdi, ibadah ikhlas karena Allāh ta’āla semata.
  
Kualitas ibadah juga menghindarkan manusia pada kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan seringkali menyesatkan. Mereka yang ibadahnya berkualitas tidak terjebak pada tradisi yang jauh dari nilai keislaman. Berbagi kasih-sayang (termasuk saling memberi hadiah) adalah anjuran dalam Islam. Tetapi ketika hal ini disakralkan secara khusus di hari tertentu dan kalau tidak dilakukan seolah tidak lengkap dan “berdosa” tentu bermasalah. Oleh karenanya, perayaan Valentine’s Day 14 Februari itu pasti tidak dilakukan oleh mereka yang Islamnya berkualitas.

Penutup: Standar Ibadah
Diskursus antara kualitas dan kuantitas dalam (ber)Islam tidak seharusnya berakhir pada simpulan yang salah. Misalnya karena merasa shalatnya sudah khusyu’ (kualitas) maka cukup shalat 3 waktu saja, bukan 5 waktu (kuantitas). Tentu bukan demikian yang dimaksudkan dengan memprioritaskan kualitas tinimbang kualitas di atas. Dalam syariat Islam pastinya sudah jelas. Adanya terminologi fardhuain dalam ibadah mahdhah adalah sebagai standar minimal sebuah amal(an). Semoga menjadi renungan berharga. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria,
Santri Ponpes UII